Ending atau pamungkas suatu cerita barangkali hanya bagian kecil dari bangunan cerita. Namun, perannya begitu krusial, mengingat bagian ini berpengaruh sekali dalam membentuk kesan akhir di benak pembaca. Sebuah ending yang baik tentu dapat membuat audiens membaca atau menonton ulang karya tersebut sambil membawa perasaan kagum… atau kecewa.
Mari melihatnya dari kacamata konsumen. Ketika suatu cerita berhasil menyentuh emosi kita di bagian awal sampai tengah, bukankah kita menanti bagian ending dengan penuh antisipasi dan rasa penasaran?
Maka dari itu, jangan kecewakan pembaca atau penonton Anda. Jangan pernah meremehkan ending. Bilamana perlu, berikan ending yang sangat mengejutkan dan tidak disangka-sangka, tetapi tetap relevan dan masuk akal.
Jenis-jenis Ending
Anda dapat memilih satu di antara ketiga tipe untuk mengakhiri cerita:
Happy End (Akhir Bahagia)
Ini ending favorit bagi sebagian besar penulis, karena disukai pula oleh sebagian besar pembaca atau penontonnya. Memang menyenangkan melihat tokoh yang kita sukai berhasil melewati masa sulit dan kemudian hidup bahagia, bukan?
Sad End (Akhir Sedih atau Tragis)
Kebalikan dari happy end, sad ending adalah akhir yang menyedihkan bagi tokoh utama. Akibatnya, penonton atau pembaca pun akan ikut merasa sesak. Hati-hati menggunakan akhir cerita yang mengenaskan ini, karena hanya sedikit penikmat yang menyukainya.
Cliffhanger (Akhir yang Menggantung)
Secara harfiah, cliffhanger artinya “menggantung di tebing”. Jadi, cliff hanger adalah ending yang bersifat menggantung tidak pasti, entah itu alurnya atau nasib tokoh utamanya. Pembaca atau penonton dipersilakan menafsirkan sendiri apa yang terjadi berikutnya.
Jika Anda penulis pemula, sangat disarankan untuk memilih ending yang pertama: happy end. Sebab, itulah tipe yang paling kecil risiko dibenci pembaca atau penonton. Ada baiknya tidak “sok gagah-gagahan” dulu dengan memilih Sad End atau Cliffhanger.
Baru nanti, setelah mulai piawai “menghibur” pembaca atau penonton, silakan menggunakan ending tipe yang lain.
Apapun pilihan ending Anda, pastikan konflik utama dalam cerita telah terselesaikan. Jadi, sebenarnya membuat ending cliffhanger pun tidak boleh asal menggantung.
Stephen King dalam The Mist pernah membuat cerita berakhir sad yang menurut banyak penggemarnya menjengkelkan. Namun, setidaknya masalah utama di dalam cerita tersebut telah selesai: makhluk-makhluk yang meneror warga itu sudah tidak ada lagi.
Bila makhluk-makhluk itu masih seru-serunya meneror dan ceritanya berakhir begitu saja, mungkin Mr. King akan dimaki oleh ratusan ribu penggemarnya. Sebab, eksekusi semacam itu bisa dibilang tidak bertanggung jawab. Bukan sad ending lagi namanya, melainkan bad ending (karena bad writing).
Termasuk dalam bad ending adalah klise dan predictable end. Klise adalah trik yang bolak-balik dipakai. Misalnya, tokoh pria dan wanita yang awalnya bertengkar, lalu akhirnya saling mencintai.
Ending yang klise cenderung mudah ditebak (predictable), tetapi predictable end tidak selalu klise. Anda bisa saja membuat cerita yang tidak klise. Namun bila twist-nya kurang, audiens akan mudah menebak, “Oh, setelah ini tokoh anu pasti melakukan itu!” Dan terbukti memang begitu. Uh-oh, bad ending detected!
Cara Membuat Ending yang Bagus
Menciptakan akhir cerita yang bagus itu gampang-gampang susah. Namun, sebagai awalan, Anda bisa mengikuti tiga langkah berikut ini:
Pastikan ide cerita tidak klise
Ide-ide yang klise akan menggiring alur menjadi klise pula. Alur klise akan mengarah ke ending klise. Tidak selalu seperti itu, tetapi kebanyakan memang demikian.
Pastikan konflik utama tuntas
Jangan membawa-bawa suatu masalah kalau tidak mampu memecahkannya dengan memuaskan. Ingat, yang Anda buat adalah produk hiburan. Jangan malah menyuruh penikmat karya Anda memikirkan solusi bagi kesulitan tokoh-tokoh Anda.
Teruslah berlatih membuat twist
Percuma saja Anda rajin membaca novel, belajar banyak teori penulisan, atau banyak menonton film sebagai referensi, kalau Anda jarang praktik menulis cerita. Practice makes perfect.
Cara Mengakhiri Bab
Ending bukan hanya untuk keseluruhan novel. Setiap bab pun pada dasarnya memiliki ending yang harus kita pikirkan. Dulu, para novelis cenderung memilih mengakhiri bab setelah rentetan peristiwa dalam ceritanya tuntas. Saat itu, sebuah bab biasanya mewakili satu ide, bisa tokoh atau kejadian tertentu. Jadi, kalau ide itu belum tuntas disampaikan, mereka enggan berganti bab.
Tren sekarang tidak lagi demikian. Pembaca zaman now cenderung tidak sabaran. Jika sebuah bab dirasa bertele-tele, mereka tak segan-segan melompatinya, bahkan berhenti membaca! Maka penulis modern harus memutar otak untuk mengantisipasi “kemalasan” pembacanya. Berikut ini beberapa trik mengakhiri sebuah bab yang masih relevan:
Akhirilah bab saat berganti latar
Ini seperti teknik sebuah scene dalam film. Misalnya, dari setting kamar ke kampus, atau dari latar tahun 2014 ke tahun 1987. Meskipun, pergantian latar sebenarnya juga dapat dilakukan tanpa pergantian bab.
Akhirilah bab saat berganti sudut pandang
Contohnya, pergantian dari sudut pandang tokoh A ke POV tokoh B, terutama saat Anda menulisnya dengan sudut pandang atau POV orang ketiga (dia). Pergantian POV tokoh ini sebetulnya tidak harus dilakukan dengan membuka bab baru.
Akhirilah bila bab terlalu panjang
Jika sebuah terasa terlalu panjang, setidaknya dibandingkan bab-bab sebelumnya, saat itulah Anda harus menulis bab baru. Ingat, pembaca sekarang mudah lelah dan gampang bosan. Apalagi jika harus melahap bab-bab yang masing-masingnya terdiri dari puluhan lembar.
Akhirilah bab dengan cliff hanger
Bila memang yang ingin Anda ceritakan banyak, jangan merasa sayang untuk membaginya menjadi bab-bab pendek. Namun, pastikan pemenggalannya di bagian yang sedang seru-serunya. Misalnya, ketika cerita sedang menukik ke konflik atau sedang di tengah-tengah aksi. Orang-orang televisi jago untuk urusan begini (saat tegang-tegangnya, eh, jeda iklan). Bab pendek ditambah teknik cliffhanger akan membuat pembaca tak sabar untuk meneruskan membaca bab berikutnya. Padahal di akhir bab berikutnya itu sudah Anda pasang cliffhanger lain 😀
Demikian jenis-jenis ending, baik untuk mengakhiri novel maupun bab, dan cara membuatnya. Semoga tips ini berguna. Selamat menulis!
Mas numpang nyamber yah… Temanya menarik. Saya kebetulan lagi belajar nulis.
Saya ada pertanyaan, Berapa halaman yang dikatakan bab terlalu panjang itu?
Ini relatif, Marta. Tapi menurut ukuranku, dengan buku berukuran (panjang-lebar-margin) standar, satu bab berisi 10 halaman itu udah banyak.
Serial THE SECRETS OF THE IMMORTAL NICHOLAS FLAMEL karya Michael Scott adalah contoh yang bagus dalam hal menutup bab. Scott pandai sekali menghilangkan kebosanan pembaca sekaligus
mendatangkan kejutan demi kejutan tanpa membuat kita jantungan. Di akhir bab, kita benar-benar dibuat penasaran. Lalu dia berpindah ke adegan lain dengan tokoh yang lain. Selera humornya pun cerdas (Kalau ini tak lepas dari translatornya)
Kejutan demi kejutan tanpa membuat jantungan. Berarti nggak begitu terkejut ya? 🙂
Kalo batas minimal halaman? Adakah minimalnya?
Sory mas, banyak nanya.
Thanx before.
Itu juga relatif. Tapi satu halaman kupikir adalah jumlah yg paling minimal. Jangan sampai satu bab terdiri dari setengah halaman, hahaha….
Nggak papa, Marta, silakan tanya2 lg. Asalkan relevan.
thanks sob untuk postingannya…
article yang menarik,saya tunggu article berikutnya yach.hehe..
maju terus dan sukses selalu…
salam kenal yach…
kunjungi blog saya ya sob,banyak tuh article2 yang seru buat dibaca..
thanks gan,, artikelnya sangat membantu (y)