Growing Pains: Pertumbuhan di Balik Penderitaan

Growing Pains: Ada Pertumbuhan di Balik Penderitaan

Dahulu, sewaktu masih balita, mungkin Anda pernah rewel karena kaki terasa sakit. Padahal Anda tidak mengalami keletihan, terluka, atau cedera sama sekali. Atau, saat itu gusi Anda merasa ngilu ketika gigi mulai tumbuh. Bahkan saat dewasa, ketika muncul gigi geraham terakhir, Anda mengalami kesakitan sekali lagi.

Seperti itulah gambaran growing pains. Sederhananya, growing pains adalah nyeri akibat pertumbuhan. Setiap orang pasti pernah mengalaminya. Rasanya memang tidak enak, tetapi setelah periode tersebut terlewati, niscaya tinggal manisnya dan Anda segera melupakan rasa sakitnya.

Dapat Terjadi di Bidang Apapun

Mulai dari bayi yang tulangnya makin kuat hingga manusia dewasa yang hendak tumbuh gigi geraham, semua mengalami growing pains. Namun, growing pains tidak hanya terjadi dalam hal pertumbuhan alami badan. Melainkan juga ketika kita belajar.

Saya hobi bermain bulutangkis, meski tidak jago. Dahulu, saya terbiasa mensmes dengan hanya mengandalkan ayunan lengan. Keras, mantap, hingga banyak yang jadi korban.

Kemudian, seorang kolega mengatakan bahwa cara smes saya salah. “Smes yang benar itu selain dengan kekuatan ayunan, kamu juga harus memutar sikut dan pergelangan dalam sekali entak,” jelasnya.

Karena kemampuan kenalan saya itu memang sekelas atlet, saya pun menurut. Saya mulai mengubah cara mensmes saya sesuai bimbingannya.

Rasanya, sungguh tidak nyaman. Selain smes saya malah menjadi lemah, sering menyangkut di net, saya juga masih harus mendapat bonus nyeri-nyeri di persendian tangan kanan keesokan harinya.

Namun, saya mencoba terus mempraktikkan cara itu. Toh, posisi tangan pebulutangkis-pebulutangkis yang saya tonton di televisi juga membengkok seperti itu sewaktu melakukan smes. Saya terus mencoba. Hingga akhirnya terbiasa juga.

Pukulan smes saya pun berangsur-angsur tidak hanya menjadi lebih keras, melainkan juga lebih tajam. Saya memberi selamat kepada diri sendiri. Sebab, saya telah melewati fase growing pains dan berhasil tumbuh!

Growing Pains dalam Kepenulisan

Saya menulis novel baru sejak awal tahun ini, tetapi tidak kunjung selesai. Rasanya sulit sekali, apalagi ada beberapa kesibukan lain yang menyita waktu. Maka pilihan saya ada antara menyerah saja atau terus maju (sambil menahan sakitnya growing pains).

Ketika Anda yakin pada apa yang Anda kerjakan, selalu pilihlah opsi yang kedua. Pahami bahwa setiap pertumbuhan selalu membutuhkan penderitaan.

Misalnya, bagi Anda penulis yang masih sering diremehkan orang, yakinlah, Anda sedang mengalami periode growing pains. Sakit, memang. Namun, kesakitan semacam ini bukanlah hukuman atas perbuatan kita di masa lalu.

Penderitaan itu hanyalah pertanda yang gamblang bahwa ada sesuatu dalam diri Anda yang sedang tumbuh. Hindarilah, dan kemampuan Anda akan tetap begitu-begitu saja. Sebaliknya, hadapilah secara kesatria, dan Anda akan tumbuh.

Namun, bisakah kesakitan yang berulang ini dikurangi atau dihilangkan?

Jika pertumbuhan itu bersifat fisik, tentu kita dapat mengonsumsi obat pereda nyeri untuk menyingkirkan growing pains. Walaupun mengonsumsi obat-obatan itu sebenarnya tidak disarankan juga, karena tidak sehat dan berdampak secara jangka panjang bagi tubuh.

Lantas, bagaimana dengan kesakitan akibat pertumbuhan yang bersifat mental?

Setiap kreator, baik itu penulis, penerjemah, desainer, maupun pemrogram, mengalami growing pains di tahap-tahap awal pembuatan karyanya. Termasuk saya setiap kali mengawali draf novel.

Baru nanti, setelah draf rampung sampai 80-90 persen, siksaan growing pains akan mereda. Sehingga, kita bisa tersenyum lebar, bahkan lupa sama sekali bagaimana sakitnya.

Namun, nanti, saat mulai membuat karya baru, kita akan mengalami “trauma” itu lagi. Begitu seterusnya.

3 Cara Menyingkirkan Growing Pains

Penderitaan ini sebenarnya dapat kita hilangkan dalam proses penulisan. Cara untuk menghindari, atau bahkan menghilangkan growing pains di bidang penulisan ada tiga:

  1. Dengan tidak berkarya sama sekali. Menyerah saja. Ingat pepatah bijak, “Seberat apapun beban, akan terasa ringan bila tidak dikerjakan.” Hehehe….
  2. Membayar jasa orang lain. Artinya, Anda membayar mahal orang lain untuk mewakili Anda mengalami growing pains.
  3. Menjiplak, meniru, atau mencuri karya orang lain. Lakukan ini kalau Anda tidak tahu malu atau siap berurusan dengan hukum.

Setahu saya, tidak ada cara lain di luar tiga hal di atas.

Terkait cara ketiga, baru-baru ini, saya berbincang-bincang santai dengan klien. Di kafe sebuah mal itu, saya (sebagai copywriter) bersama seorang marketing senior mewakili perusahaan integrated marketing communication tempat saya bekerja.

Sang klien mengamati contoh kalender duduk yang kami berikan. Ia menggeleng-geleng, “Kok bisa membuat kalender sederhana semacam ini biayanya belasan juta?”

Senior saya hanya tersenyum. Lalu, berkata kalem. “Memangnya Bapak bisa membuat kalender sederhana semacam ini?”

“Gampaaaaang,” sahut sang klien. “Tinggal bikin garis seperti ini, angka-angka begini, lalu kasih foto-foto begini.”

“Itu artinya Bapak bukan membuat, tapi mencontoh, menjiplak, alias copy-paste. Siapkah perusahaan Bapak menanggung akibatnya kalau kepergok yang punya? Atau ketahuan publik?”

Klien itu terdiam seketika. Kemudian, kami tertawa bersama.

Ada perbedaan yang jelas antara sekadar meniru atau memodifikasi dengan membuat dari nol. Ada perbedaan antara cara kerja pengamat dengan pekerja lapangan. Pekerja lapangan pasti mengalami growing pains.

Dalam hal ini, klien tersebut hanya sebagai pengamat, sehingga ia tidak tahu ada penderitaan di balik sebuah produk atau karya. Akibatnya, ia tidak habis pikir, mengapa ongkos pembuatan sebuah karya sampai belasan atau puluhan juta.

Siap Mengalami (dan Melewati) Growing Pains?

Bagi Anda yang tidak berencana menyerah, membayar, atau menjiplak, pahami bahwa Anda memang harus mengalami growing pains yang tidak mengenakkan. Tidak bisa tidak.

Tidak ada orang yang bisa menolong Anda, dalam hal ini. Teman yang memberi masukan seputar buku yang sedang Anda tulis atau tools yang Anda beli untuk membantu pekerjaan Anda, semua itu hanya bisa sedikit meringankan penderitaan dan kebuntuan Anda.

Begitu Anda kembali ke “lapangan” lagi, niscaya akan terasa kembali growing pains tersebut. Itu sudah semacam kutukan bagi kreator.

Namun, alih-alih memandangnya sebagai sebuah kutukan, lihat saja sisi terangnya. Anda mengalami sakit (pains) karena sedang tumbuh (growing).

Sama seperti orang lawas yang merespons anak kecil yang rewel terus. Mereka melihat sisi positifnya, “Oh, anak ini mau pintar.” Jadi, kerewelan itu tidak terlalu mereka anggap sebagai bahaya.

Justru jika Anda tidak menderita dari awal sampai akhir tahap berkarya, artinya karya Anda tidak tumbuh. Alias, karya yang biasa-biasa saja, atau bahkan buruk. Tidak ada pertumbuhan yang terjadi, baik dari sisi karya maupun diri Anda sebagai penulisnya, itu jauh lebih berbahaya.

  • Photo by Rie Yanti
BAGIKAN HALAMAN INI DI

5 thoughts on “Growing Pains: Pertumbuhan di Balik Penderitaan”

  1. Sampe tahun kemarin aku rajin nonton tayangan ulang Growing Pains lho di stasiun TV lokal. Yg aku lihat, keluarga Seaver itu biarpun selalu dilanda masalah, fine-fine dan fun-fun aja tuh.

    Reply

Leave a Reply to Brahmanto Anindito Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!