6 Sumber Penghasilan Penulis Fiksi

6 Sumber Penghasilan Penulis Fiksi
Tulisan ini berangkat dari pertanyaan klasik yang dulu saya sering tanyakan. Sekarang, gantian saya yang sering ditanyai. Pertanyaan itu adalah, “Bisakah kita hidup layak dari menulis fiksi? Kalau bisa, bagaimana caranya? Dari mana penghasilan penulis fiksi itu?”

Pertanyaan klise, jawabnya pun klise: “bisa” dan “tergantung”. Sama seperti profesi lain, menulis fiksi bisa ditekuni secara purnawaktu atau dengan disambi-sambi.

Penghasilan Penulis Fiksi: Sedikit atau Banyak?

Penghasilan Penulis Fiksi: Sedikit atau Banyak?

Banyak penulis fiksi yang melarat. Namun, ada pula yang kaya. Atau kaya raya, bahkan! Seperti J.K. Rowling, Stephen King, Stephanie Meyer, Dewi Lestari, Tere Liye, dan sederet nama lainnya.

Kaya atau miskin itu tergantung usaha manusianya. Dokter atau sarjana IT saja banyak yang menganggur, atau paling tidak digaji pas-pasan. Beberapa kemudian menekuni profesi lain, misalnya ikut MLM atau jadi penyanyi.

Pekerjaan penulis fiksi pun memiliki rentang yang lebar terkait kemakmuran hidup. Dari pas-pasan hingga kaya raya.

Jika Anda merasa menulis fiksi ternyata tidak bisa mencapai target-target finansial Anda, mungkin memang bukan itu sumber rezeki utama Anda. Maka jadikan saja menulis sebagai kegiatan paruh waktu.

Namun, bila Anda hakulyakin bahwa menulis fiksi merupakan profesi utama Anda, fokus dan bekerja keraslah di bidang ini. Yang terpenting, penuhilah ketiga syarat ini:

  1. Bisa menulis (mengonsep tulisan) secara komunikatif.
  2. Berwawasan luas, setidaknya selalu up date untuk topik-topik tertentu.
  3. Paham karakteristik media (apakah itu visual gambar, visual tulis, audio, atau audiovisual).
  4. Mau terus belajar, karena perkembangan dunia penulisan terus berkembang mengikuti zaman.

Berikutnya, coba intip peluang-peluang berikut ini.

Sumber Penghasilan Penulis Fiksi

Sumber Penghasilan Penulis Fiksi

Sebelumnya, perlu Anda ketahui. Dari keempat peluang di bawah ini, makin ke bawah, makin Anda kehilangan hak (cipta) terhadap karya Anda sendiri. Namun kabar baiknya, biasanya Anda dibayar lebih baik, lebih kontinyu, dan lebih pasti.

1. Penerbit: konvensional atau platform digital

Alur kerjanya sederhana. Anda mengirim naskah (novel, novela atau kumpulan cerpen), lalu bila diterima untuk diterbitkan, Anda mendapat royalti. Penerbitnya bisa dari jenis konvensional (Gramedia, Misan, GagasMedia), bisa pula platform digital (Kwikku, Storial, KBM).

Inilah penulis fiksi yang paling merdeka. Penerbit adalah tempat penulis fiksi berharap cuan sekaligus memuaskan kreativitasnya yang paling personal. Sebab, sewaktu menulis novel, hanya ada Anda dan alter ego Anda.

Sayangnya, statistik menunjukkan, kebanyakan penulis yang mengandalkan penerbitan buku, terutama di Indonesia, jarang sekali berhasil mencapai tahap kemakmuran. Bagaimana tidak, biasanya, royalti yang hanya 10% itu dibayar enam bulan sekali, belum dipotong pajak 15%, dan masih juga disuruh aktif mempromosikan buku tersebut ke sana-kemari tanpa bayaran.

Strategi umum kalau memang Anda lebih srek mencari uang di sini adalah dengan terus produktif. Terbitkanlah buku minimal empat judul dalam setahun. Walaupun penghasilan sedikit, tetapi bila berkali-kali, tetap akan menjadi penghasilan yang layak, bukan?

Yang menarik dari penerbitan adalah royaltinya. Tidak peduli banyak atau sedikit, sistem ini memungkinkan kita seolah memiliki penghasilan pasif. Namun, ingat, royalti buku makin lama makin menyusut jumlahnya. Oleh karena itu, menerbitkan buku setiap tiga bulan akan memastikan penghasilan “pasif” itu terus mengalir lancar ke rekening bank Anda.

2. Media: koran, majalah, tabloid, portal, dll.

Tidak suka terlalu ribet menulis sepanjang novel? Cobalah menulis cerita pendek (cerpen) atau cerita bersambung (cerber) di media-media yang memang menyediakan ruang sastra. Media cetak bertumbangan, jangan khawatir. Sebab, sekarang, banyak juga media daring (portal atau situs web) yang menerima karya-karya fiksi pendek Anda.

Kirimkan cerpen atau cerber Anda ke media yang menjanjikan honor pemuatan. Bila dianggap sesuai standar redaksi, karya fiksi Anda pun akan dimuat dan ditransfer honor.

Jika Anda memilih mencari uang dari jalur media, pastikan setidaknya seminggu sekali ada tulisan yang dimuat. Atau perhitungkan sendiri berapa rupiah yang Anda butuhkan untuk hidup layak, lalu bagilah dengan rata-rata honor di media. Dari rumus itu, akan ketemu patokan berapa kali seharusnya karya fiksi Anda dimuat di media supaya dapat mengejar kebutuhan hidup.

Dengan memilih media sebagai tempat Anda menggantungkan hidup, setidaknya Anda tidak perlu repot-repot mempromosikan tulisan Anda. Anda dapat menghemat tenaga, pikiran, dan uang. Setelah dimuat, ada atau tidak yang membaca, Anda tetap dapat honor sesuai kebijakan redaksional. 

3. Rumah Produksi atau PH

Di sini, Anda dapat hadir sebagai penulis cerita film atau skenario. Aktivitas kepenulisan Anda akan berhubungan dengan banyak pekerja kreatif lain. Penulis skenario film berhubungan dengan pemain dan kru film, penulis skenario komik dengan komikus, penulis skenario radio dengan orang-orang radio, dan seterusnya.

Lihatlah René Goscinny yang bekerja sama dengan para tukang gambar komik. Kolaborasinya antara lain menghasilkan Asterix (berlatar Prancis dan beberapa negara di tahun 50 SM), Lucky Luke (Amerika Serikat wild-wild west), Iznogoud (Irak lama di jaman kalifah fiktif Harun Al Poussah), dan puluhan lainnya.

Tidak seperti penulis buku fiksi, penulis skenario biasanya terlibat dalam kontrak (untuk menggarap beberapa karya sekaligus) dan ongkos lelahnya langsung lumayan. Sehingga, kepastian uangnya biasanya lebih bisa diandalkan daripada menulis buku. Terutama bila kita bekerja samanya dengan Rumah Produksi yang sudah punya nama dan aktif berproduksi.

Untuk mencari uang di jalur ini, Anda perlu sering-sering menonton film atau bergabung dengan grupnya. Di sana, sering ada informasi email dan telepon PH yang dapat Anda hubungi. Selanjutnya, tanyakan mereka prosedur bila ingin mengirimkan skenario.

4. Lembaga: perusahaan, institusi, organisaasi, dll.

Di sini, yang membayar Anda adalah lembaga yang memang membutuhkan penulis. Penulis komersial alias copywriter biasanya bertugas merangkai kata untuk menjual sesuatu dan membangun citra mereka. Produk konkretnya seperti iklan, brosur, advertorial, rilis pers, profil perusahaan, laporan tahunan, dan sebagainya.

Semua itu memang bukan karya fiksi. Namun, diperlukan imajinasi dan kelenturan gaya tutur ala pengarang fiksi untuk menyampaikannya. Apalagi bila itu adalah iklan audiovisual.

Bayangkan adegan ini. Dengan girang, seorang balita berlari sambil berkata tak jelas, “Ooo ma ma ….” Sang ibu yang ge-er segera membuka lengannya menyambut buah hatinya itu. Ternyata, si balita melewatinya begitu saja. Ibunya kaget bukan kepalang. Eh, ternyata anak itu bukan menyambutnya, melainkan menyambut (tiruan) Obama. Sang ibu ternganga, lalu tiba-tiba seseorang memasukkan biskuit ke mulutnya. Muncullah kata-kata jualan (copy) dari biskuit itu. Ini apa namanya kalau bukan fiksi?

Rasa Coca Cola dan coke-coke lain mungkin sama. Manis, berbusa, dan sedikit segar menggigit. Namun, Coca Cola menciptakan sensasi “Brrrr ….” lewat iklan-iklannya, untuk membedakannya dengan kompetitor. Padahal, kita juga bisa “brrr” dengan Pepsi. Ini contoh permainan komunikasi. Diperlukan imajinasi khas penulis fiksi untuk menciptakan pesan itu.

Perusahaan-perusahaan komersial selalu membutuhkan copywriter untuk memastikan kampanyenya (yang tak pernah murah itu) berefek di benak khalayak. Bahkan lembaga-lembaga nirlaba pun terkadang juga membutuhkannya.

5. Tokoh: selebritas, pebisnis, jenderal, dll.

Anda juga dapat mencari cuan dari tokoh perorangan. Penulis bayangan atau ghostwriter terkadang menulis (biasanya buku) dari nol, tetapi ada juga yang hanya menulis ulang karya buruk dari kliennya. Dinamakan “ghost” alias “hantu” karena pelakunya mengerjakan proyek penulisan tanpa nama. Yang tampak di karya tersebut hanyalah nama kliennya.

Jadi, bila Anda melihat seorang selebritas atau politikus yang tidak berlatar belakang penulis tiba-tiba meluncurkan buku karangannya, maka kemungkinan buku itu ditulis oleh seorang (atau tim) ghostwriter. Namun, kita tidak pernah bisa membuktikan ini, karena baik sang klien maupun ghostwriter biasanya sama-sama merahasiakannya.

Hubungan kerja ghostwriting memang biasanya dirahasiakan, karena alasan gengsi. Menulis adalah kegiatan intelektual. Citra seorang tokoh pasti tambah bagus ketika penggemarnya tahu ia juga mampu menulis buku. Sebaliknya, citra itu akan berantakan kalau sampai ketahuan, “Sebenarnya yang menulis ini si A.”

Ada beberapa pihak yang menuding ghostwriter sebagai pelacur intelektual. Benarkah? Sama sekali tidak benar.

Di zaman spesialis ini, setiap orang tidak harus bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Haruskah seorang dokter atau pilot bisa menulis buku? Tidak. Meskipun buku itu untuk kepentingannya sendiri, tetap tidak ada kewajiban belajar menulis. Kasusnya sama dengan kita yang tidak wajib menanam padi sendiri, atau menjadi petani dahulu, hanya karena kita butuh makan nasi dari padi itu.

Seorang ghostwriter hanya menjual keterampilan menulisnya. Sementara ide, opini, cerita, dan pengalaman yang tertulis, semuanya dari klien. Sang ghostwriter hanya menggalinya (misal lewat wawancara atau pengumpulan data) dan membantu menulisnya secara runut dan enak dibaca. Jadi secara moral, ini memang karya klien.

6. Media daring: blog, medsos, YouTube

Jika kita mau berada di jalur ini, teruslah memproduksi konten di media-media internet. Setelah media atau akunnya populer, kita dapat memasang iklan di sana. Iklan tersebut bisa datang dari pemilik media (misalnya Adsense Google atau YouTube) atau kita usahakan swadaya dengan menghubungi dan menawari pengiklan secara manual untuk beriklan di media/akun kita.

Misalnya, blog pribadi Anda yang bertema sastra. Anda terus saja menulis cerpen di sana. Lalu, saat blog tersebut sudah mulai populer, pasanglah iklan-iklan Adsense. Saat ada yang mengklik iklan tersebut di blog, dolar pun mengalir ke rekening Anda.

Metode yang sama juga bisa diterapkan di akun YouTube, Instagram, Facebook, atau lainnya. Cerita fiksi, komik, atau film pendek dapat kita letakkan di sana sebagai konten. Inilah cara modern seorang penulis fiksi untuk mereguk sedapnya penghasilan dolar.

Hanya, kita memerlukan wawasan yang lebih kompleks jika ingin sukses di tempat ini. Menjadi kreator konten seperti ini tidak boleh gaptek. Dalam TikTok, umpamanya, dibutuhkan kemampuan untuk mengubah cerpen Anda menjadi gambar (bergerak) dan suara.

Masing-masing cara memperoleh uang tersebut ada kekurangan dan kelebihan. Maka saran terbaik, pilih dua atau tiga sumber penghasilan yang paling Anda kuasai, lalu mulailah produktif berkarya.

Penghasilan Penulis Fiksi Tergantung Kreativitasnya

Penghasilan Penulis Fiksi Tergantung Kreativitasnya

Kebutuhan masyarakat setiap zaman berubah-ubah. Sebagai penulis fiksi, kita harus kreatif dalam memanfaatkan keterampilan kita mengolah imajinasi, agar menjadi produk-produk yang dibutuhkan masyarakat.

Dan yang tak kalah penting, carilah cara yang paling sesuai dengan karakter penulisan Anda. Tidak betah menulis panjang, jadilah penulis iklan. Suka menonton film, jadilah penulis skenario. Frustrasi ditolak terus oleh penerbit atau media, maka publikasikan sendiri karya-karya fiksi itu dengan menjadi kreator konten.

Cobalah sendiri, agar tahu mana yang paling pas buat Anda. Semoga sukses!

BAGIKAN HALAMAN INI DI

28 thoughts on “6 Sumber Penghasilan Penulis Fiksi”

  1. Jadi yang pertama lagi… Ngomong-ngomong soal copywriting, iklan wafer yang ada Obama-nya (juga iklan minyak goreng) kayaknya iklan paling… paling… ah, bingung mo bilang apa. Aneh aja kalo seorang presiden (sekalipun hanya tiruannya) dijadikan bagian dari kampanye seperti itu. Jadi inget iklan HP jaman dulu, ada orang mirip Bill Clinton, sambil selonjoran main game di HP-nya. Lucu sih, tapi… Hehehe, saya mungkin orang yang kaku, tapi jualan orang beken buat kampanye sebuah produk, kayaknya gimana ya… Mirip orang yang ga pede sama dirinya sendiri (loh, kok jadi ngomongin saya ya?).
    Brahm, saya kembaliiii…!!!

    Reply
  2. Thanks Nia & Pasha. Komen pertama atau nggak pertama nggak ada bedanya mah, pasti kubaca dan kutanggapi. *berlagak sok bijak*

    Yah namanya aja ghost, Nia. Sebagian orang bisa lihat jls. Tp kebanyakan sih nggak bisa lihat kalau dia eksis.

    Selamat datang kembali, Pasha! Hehehe …. Ya kan yg diambil emang lucunya aja. Selalu penting bg produsen (maupun pembuat iklan) utk menjadikan iklannya eye catching shg bisa diingat pemirsa dlm jangka panjang. Krn nantinya iklan yg berkesan sedikit-banyak berpengaruh pd keputusan membeli.

    Soal orang beken yg jd modelnya, rasanya di masyarakat kita msh penting deh. Aku sendiri nggak enjoy dg fakta itu. Aku suka iklan wafer itu bukan krn Obamanya. Tp konsep kreatifnya yg menurutku bagus. Btw, banyak jg kan iklan yg pakai seabrek tokoh tp konsep kreatifnya payah. Hanya testimoni2 garing di depan kamera. Huh.

    Reply
  3. Dari mana penulis cari makan? Ya, dr perut, dong. Kalo udah kerasa lapar, baru cari makan hehehe (nggak nyambung, ya? Kayaknya nggak berbakat jd kopiwraiter, deh).

    Hiii… serem! Ghostwriting itu yg nulis cerita2 ttg hantu, ya?

    Reply
  4. Artikelnya sangat informatif. Tapi Kurang lengkap dikit, nih, Bram. Bagaimana dg cerpenis? Atau sebagaima yang aku lakuin, jadi pemburu hadiah lomba-lomba menulis?

    Oya, trus posisi Content Writer dimana, ya?

    Reply
  5. Thanks, Ahmad Nahwi & Aleena. Cerpenis & pemburu hadiah? Iya ya, aku kok nggak mikir ke sana ya. Trims sekali lg, Aleena. Tp dua2nya sepertinya lbh nggak pasti perolehannya.

    Content writer? Berhubung kyk wartawan, isi content writing kan jarang fiksi, jd ya nggak kumasukkan ke daftar atas. Tp kalau dipaksakan sih, menurutku, masuk copywriter. Kan job desk-nya ngisi2 materi di situs atau materi utk mobile content.

    Reply
  6. Yah, marilah kita berdoa bersama, semoga orang-orang yang cari makan dari keterampilan menulis bisa terus makan, minum, tidur dan lain-lain dengan sentosa. Jadi, ga ada lagi cerita soal penulis dengan asap rokok yang ga sehat dan ga berduit. Amiiin!

    Reply
  7. Thanks Geze & Pasha. Well I think an editor isn’t a writer. An editor looks like a consultant to me. S/he just edits the content (sometime corrects the words), not writes one.

    Wah, tentu saja penulis lbh dari sekadar bisa kalau cuma buat makan, minum, tidur dan kebutuhan2 sederhana semacam itu. Penulis dg asap rokok? Wkwkwkwk, jadul banget sih.

    Reply
  8. Oke, oke. Ini serius! *ngalah*

    Aku bukan penulis dgn asep rokok, tapi asep pembakaran sate (msh nggak serius, ya?)

    Ini baru serius. Mau nanya: Bener, nggak, sih, di mancanegara sana profesi penulis memiliki kedudukan yg setara dgn profesi lain seperti dokter atau lawyer? Maksudku, penulis merupakan profesi yg bergengsi, gitu. Di Indonesia nggak banget, ya? Payaaah… (serius, kan?)

    Reply
  9. @rie:
    iyah…masih memimpikan di pilihan profesi buwat KTP ada pilihan : Penulis atau kl ndak Blogger 😀

    Tp kl dah terlanjur di usia produktip, ngejar mimpi jd penulis ma tuntutan perut…saling kejar2an tuh. 1 berusaha mengalahkan yang lain…tp biasanya perut sedikit lebih unggul dari hati 😀

    Reply
  10. Kalo mo di-setara-setara-in juga boleh…
    Tapi bener juga kata rie. Guru menulis saya pernah bilang, jadi penulis skenario (cerita) di Indonesia (umumnya) kaga dianggep sama produser ato PH. Kedudukan penulis jauh lebih lemah daripada PH. Katanya sih…

    Reply
  11. Sebenarnya bukan hanya di Indonesia. Di negara semapan AS pun, profesi penulis (barangkali) juga bukan profesi yang setara dengan–katakanlah–pengacara. Soalnya, hak-hak penulis juga bisa kurang diperhatikan. Misalnya waktu para penulis naskah berdemo, menuntut pembagian keuntungan yang lebih baik dll. Sampai2 Oscar waktu itu terancam batal.

    Untuk Pasha sayang… Kalau menulis alamat blog jangan salah2 melulu. Kalau kamu masih di wufi dan melihat pesan ini, buka FB-mu sekarang.

    Terima kasih Wufi….

    Reply
  12. Tentu setara, Rie. Itu yg aku alami sendiri sih. Tp, memang kalau mau dilihat scr obyektif, rata2 penulis dibayar lbh rendah. Meski perannya vital.

    Lihat kasus Writer’s Guild Amerika. Serikat penulis menuntut hak2nya ditambah krn karyanya laku pula di media lain (spt DVD atau lwt internet). Gitu ya, Sandeq? Sampai2 perhelatan Oscar terancam batal, gara2 pemboikotan penulis ini.

    Ternyata banyak aktor/aktris sono yg mendukung demo itu. Solidaritas, katanya. Tp sekaligus kekahawatiran. Krn, bagaimanapun, toh lama2 mrk nggak bakal bisa makan kalau nggak ada suplai naskah dari penulis.

    Aku pernah tahu, entah di Oscar atau Golden Globe ya, sebelum ada ribut2 itu, aktris sekelas Nicole Kidman memuji profesi ini, “Yg kalian lakukan itu fantastis. Ayo, ciptakan cerita2 hebat lagi buat kami.” Pd intinya, siapapun sadar fungsi penulis.

    Di sana pun jd penulis (industri, bukan seniman) bisa makmur. Di sini? PH dan produser nggak nganggep penulis ya, Pasha? Nggak heran lah. Lihat aja akibatnya. Lihat aja kualitas cerita sinetron dan film kita. Ada harga ada rupa.

    Kalau boleh menyarankan, Rie. Seseorang menulis (fiksi) itu kan lewat dua cara: industri dan seniman. Nah, jgn pilih salah satunya. Lakukan dua2nya! Krn yg satu kasih kepastian income. Yg satu kasih harapan (bahwa suatu saat karya kita akan meledak).

    Ngopi omongannya Pradna: perut & hati. Dua2nya memang kejar2an. Tp mrk bisa rukun kok. Perut dan hati tidak saling meniadakan. Tp saling mendukung. *ay, ay, ay, sok bijak lagi*

    Anyway, thanks semuanya!

    Reply
  13. Thanks juga buat semuanya… Satu pertanyaan kecil ternyata bisa bikin keramaian kayak di pasar, ya? Ck, ck, ck… Ya udah kalo gitu. Kita stop ngoceh. Kerja. Berkarya!

    Reply
  14. Met kenal sblmnya mas Brahm…..
    Ikutan dong…….hehehe….ikutan ngintip inf2nya….bloe kan…?… kebetulan saya lg coba2 nulis cerita fiksi….tapi g tau mo coba dikirim kmana y…? bs dapet inf g…..thx…sbelumnya

    Dini

    Reply
  15. baru tau ada ghostwriting 😀
    Saya pengen jd penulis n menerbitkan karya saya.
    skrg lg belajar menulis n terus bljr.
    kunjungi blog saya ya n liat karya2 saya.
    thx. nice article 🙂

    Reply
  16. Mas Brahm, senang sekali membaca konsep konsep tulisanmu,warung fiksi ini menambah wawasan saya. Saya oma-oma yang nggak mau ketinggalan dengan anak muda. saya juga pingin jadi penulis fiksi, boleh kan nimbrung nimbrung di warung fiksi ini.
    Barangkali,karena untuk menulis fiksi referensinya sedikit, kayanya kalau ngikut resek disini banyak hal unt jadi referensi,

    Reply
  17. Terima kasih, Bu Kristin. Tentu boleh, menulis kan pekerjaan yg tak pandang usia. Anak umur 10 th bisa menjadi kompetitor penulis umur 50 th. Penulis 70 th bisa memecundangi penulis 30 th. Dunia tulis memang berbasis kualitas produk, nggak spt di dunia showbiz atau (mungkin) olahraga. Saya tunggu gebrakannya, Bu Kristin 🙂

    Reply

Leave a Reply to Brahmanto Anindito Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!