Cerita pendek (cerpen) adalah genre sastra populer yang selama ini keberadaannya kurang dianggap bergengsi. Padahal inilah jenis karya berbasis penuturan yang paling ringkas, baik di sisi penulis maupun pembacanya. Cerpen merupakan bentuk yang sesuai dengan setiap zaman. Memang, hingga kini belum ada sastrawan dunia yang menerima Hadiah Nobel hanya karena menulis cerpen. Namun, nyaris semua sastrawan terbaik di dunia pernah mengarang cerpen.
Jangankan novelis best seller masa kini seperti J.K. Rowling atau Stephen King, para pemenang Nobel saja juga menulis cerpen, bahkan William Shakespeare! (Meskipun cerpen dari tokoh yang terakhir saya sebut itu tentu tidak seperti cerpen-cerpen mutakhir). Penulis skenario film pun mengawali karirnya hampir selalu dengan menulis cerpen.
Cerpen Harusnya Bukan Hanya Batu Loncatan
Tahukah Anda, umur cerpen sendiri sudah tua sekali. Menurut Korrie Layun Rampan (2005), jenis tulisan ini telah ada sejak 3.500-3.200 sM di Mesir, tumbuh berkembang di Timur Tengah, menyebar ke Yunani dan Romawi, lalu bersemi di Eropa.
Namun bentuk cerpen yang sesungguhnya sebagai suatu genre sastra yang memenuhi kaidah estetik barulah muncul pada abad 19 di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Dua bersaudara dari Jerman, Jacob dan Wilhelm Grimm merupakan perintis cerpen modern dengan mengubah cerita-cerita rakyat ke dalam bentuk-bentuk cerita yang hidup di masa itu.
Di Indonesia, M. Kasim dan Suman HS-lah yang ditengarai pertama menulis cerita-cerita lucu dan kemudian melahirkan genre cerpen dalam sastra Indonesia. Kasim dan Suman tidak menghasilkan cerpen-cerpen yang berkualitas sastra, tetapi mereka tetap dianggap sebagai Bapak Cerpen Indonesia.
Dan hari ini, banyak sekali koran, tabloid, atau majalah kita yang rutin menyuguhi pembacanya dengan cerpen. Pembaca suratkabar pun jadi terbiasa menyantap cerpen sebagai hiburan ringan di hari Minggu. Ringan karena bisa dilahap cukup beberapa menit. Menghibur karena di sana ada imajinasi dengan segenap daya pikatnya.
Cerpen Juga Berpotensi sebagai Investasi
Robert T. Kiyosaki, investor sekaligus penulis best seller lewat seri-seri Rich Dad-nya mengatakan, kegiatan menghasilkan uang dapat diklasifikasikan menjadi empat kuadran, yaitu sebagai:
- Employee (karyawan, manager)
- Self Employee (dokter, editor lepas)
- Bisnis (pemilik bisnis)
- Investor
Kiyosaki sendiri berada di kuadran terakhir, sebagai investor. Namun ketika menulis buku, dia menempatkan dirinya sebagai seorang Self Employee. Walaupun pastinya dia memiliki tim penulis bayangan di belakangnya.
Rasanya semua orang sepakat, penulis memang seorang profesional yang bekerja mandiri. Namun sungguh pun demikian, kita bisa melihat sisi lain dari sini. Seorang penulis justru berada di kuadran Investor. Cerpenis pun investor, pada dasarnya.
Salah satu ciri investasi adalah adanya peluang untuk mereguk passive income sesudah periode memeras otak dan pengambilan keputusan. Seorang investor saham, suatu saat akan menerima gain jika saham yang dipegangnya naik terus harganya. Pun, dia berhak menerima deviden tatkala emitennya berperforma baik. Secara psikologis, keuntungan sudah di depan mata. Tinggal mengambil tindakan: Tetap pegang saham itu, atau jual.
Sekarang, lihatlah penulis cerpen. Jika penulis itu memunyai hak cipta karya-karyanya, maka dia bisa berleha-leha di rumah menunggu hasil royalti (passive income) per sekian bulan. Ada kalanya dia memutuskan untuk merelakan sekalian hak ciptanya dengan imbalan yang besar (biasanya pada penerbit, atau produser ketika cerpen itu diekranisasi).
Walau semua tahu, untuk bisa seperti itu, butuh bakat, kerja keras dan keberuntungan ekstra.
Namun tengoklah, asal dijaga kontennya, cerpen adalah entitas yang hampir-hampir takkan basi. Ini karakteristik fiksi. Fiksi dan imajinasi senantiasa dapat menembus ruang-waktu. Tidak seperti, misalnya, straight news di koran atau tren gaya rambut.
Fiksi adalah sesuatu yang diciptakan dari imajinasi. ~ Kamus Webster
Apa yang dilakukan orang-orang di zaman perjuangan akan tetap menarik untuk diceritakan, kendati ditilik dari dimensi waktu, jelas topiknya tidak hangat lagi (kecuali sekitar bulan Agustus atau November). Bahkan saat seorang pengarang mengambil langkah ekstrem dengan memutuskan fiksinya berlatar zaman Nabi Adam, jika ceritanya menarik, tentu tak ada yang keberatan untuk membacanya.
Tidak ada istilah basi dalam karya fiksi. Satu-satunya pembatas adalah selera dan kejenuhan pembaca akan pengulangan tema yang terlalu kerap.
Cerpen adalah Aset
Sama dengan properti yang harganya cenderung terus merangkak naik. Harga cerpen pun akan melonjak seiring dengan inflasi. Logikanya begini: Harga-harga koran naik, maka mestinya honor cerpenisnya juga naik.
Harga kertas membumbung, tentu harga kumpulan cerpen (kumcer) yang diterbitkan ikut terbang ke awan-awan. Sebab, royalti dihitung dalam persen, yang artinya sistem ini dinamis menguntit berapapun bandrol buku.
Bukan sekadar aset, cerpen adalah aset yang unik. Tidak perlu keluar uang untuk biaya perawatannya. Kalau ingin merenovasi pun kita tinggal membuka program pengolah kata, memukul-mukul papan ketik dengan jari, jadilah! Nyaris tak serupiah pun menguap dari kantong.
Pemerintah pun takkan memajaki karena kita menyimpan cerpen. Dan seingat saya, tidak pernah ada tuntunan untuk mengeluarkan zakat gara-gara kita menimbun cerpen.
Memang, kalau mau jujur, hasil yang diperoleh dari cerpen tidak sebanding dengan hasil dari bentuk-bentuk investasi lainnya. Misalnya kita bicara honor di media, cerpen paling-paling cuma senilai ratusan ribu rupiah. Namun dengan memproduksi cerpen-cerpen, neraca keuangan kita sudah pasti surplus.
Semua investasi berisiko. Katakanlah reksadana, saham, ORI, valas, emas, properti, bahkan deposito, atau menabung di bank sekalipun! Tetapi cerpen? Pasti menguntungkan. Atau paling apes, tidak menghasilkan apa-apa. Yang penting, tidak ada istilah rugi.
Mungkin Return of Investment (ROI) cerpen tidak bisa diprediksi, karena tergantung pasar atau medianya juga. Namun bukankah semua jenis investasi juga seperti itu? Naik-turun, jarang sekali patuh pada hitung-hitungan matematis.
Kita barangkali takkan memperoleh apa-apa dengan sepuluh cerpen pertama kita. Namun cerpen itu takkan pernah berkurang nilainya. Masalahnya sederhana, nilai tersebut belum bertransformasi menjadi rupiah.
Jadi, anggap saja cerpen merupakan investasi yang kurang likuid, ya, seperti investasi berwujud tanah. Toh merupiahkan cerpen jauh lebih cepat ketimbang saudara-saudaranya: novel, cerber, skenario, dkk.
Cerpen: Instrumen Investasi Antibangkrut
Ada aturan tak tertulis bahwa investasi yang sejati adalah investasi yang melibatkan otak investornya secara aktif (bukan asal taruh uang lalu tunggu profit), dan hasilnya melampaui laju inflasi atau suku bunga yang berlaku.
Bagi cerpen, syarat pertama jelas terpenuhi. Namun apakah honor atau royalti cerpen mampu berjalan di atas angka inflasi? Menandingi digit suku bunga?
Bisa ya, bisa tidak. Ini tergantung banyak hal, seperti nama penulis, kualitas tulisan, kemujuran, dan sebagainya. Kalau pun jawabannya tidak, kata “tidak” itu sesungguhnya bisa dijadikan “ya” dengan cara memperbanyak produksi cerpen.
Berapa waktu yang diperlukan untuk menulis satu cerpen? Hitungan hari. Bahkan jam. Dalam wawancaranya dengan Helvy Tiana Rosa (pendiri Forum Lingkar Pena), Arswendo Atmowiloto pernah mengatakan mampu menulis satu cerpen dalam tempo setengah jam! Asyik, kan? Namun, lupakan itu. Menghasilkan satu cerpen dalam sehari rasanya sudah tergolong produktif.
Lalu, berapa modal yang dibutuhkan untuk membuat satu cerpen? Nol rupiah! Yang lebih berperan justru modal seperti pengetahuan dan pengalaman. Atau kebutuhan dasar hidup manusia, seperti makan, minum, dan tempat yang nyaman.
Dengan modal material yang nyaris cuma-cuma dan waktu produksi yang relatif singkat, mustahil kita merugi gara-gara terlalu banyak menulis cerpen. Jadi, inilah satu-satunya produk investasi yang menggaransi investornya takkan bangkrut.
Anda sependapat?
ya , moga -moga aja emang ada nobel buat cerpenis ya
karna aku seorang cerpenis
o iya mau mengundang buat baca tulisan ini
makasih
http://realylife.wordpress.com/2007/12/31/jangan-panggil-aku-pelacur/
Cerpen gue selama ini gak pernah terbit secara besar-besaran. Yet, you still can read the spoilers on my blog. Baca juga rencana cerpen gue mendatang. *susah juga bikin iklan di blog orang -_-;
Trims, Said! Wuah, kamu ada cita2 menang Nobel lewat cerpen ya.
Tp kayaknya nggak ada Nobel khusus buat cerpen. Yg ada Nobel
Sastra scr general (jg Perdamaian, Kimia, Fisika, dsb. sesuai amanat mendiang Alfred Nobel). Jd hrs bersaing dg novel2 (plus novelis2nya yg lama berdedikasi di jalur Sastra) sedunia… Halah! Kamu pasti udah tau itu kan? Btw, “Jangan Panggil Aku Pelacur”-nya bagus. Bikin aku kecele tuh, tp terhibur.
Thank u, Sekar. Kalau cerpen2nya dibocorin, apa nanti nggak konfrontasi dg penerbitnya? Eh, lhhooo?! Ini ternyata iklan to? *baru nyadar* Hehehe ….
Nice Article…
Thank u, Mas Yulius.
@brahm: wadooh, itu ga gue pikirin. hahahahh^^
enak banged ya gue, bikin iklan di blog orang
Iya, setuju banget.
Setuju di bagian yang mana nih, Rick?
Setuju dengan argumen bahwa cerpen itu investasi. Walaupun mungkin bukan ke investasi dana secara langsung, tetapi kemampuan bertutur lewat tulisan.
Banyak sekali manfaat dari menulis cerpen, baik yang selesai maupun tidak. Saya sering membuka-buka file cerpen lama dan mendapat ide baru atau karakter lama dengan sudut pandang baru, dan hal ini memperkaya tulisan. Apabila ada tulisan yang tidak selesai, ataupun ide sekelibat, maka saya buat dalam bentuk cerita yang sangat pendek atau sepenggal adegan saja. Ini sangat berguna untuk menyimpan ide yang belum matang, karena lebih sulit mengingat secara lisan daripada tertulis.
ga tau saia beda atau sama (dengan ericbdg), tapi kalau saia membuka file2 cerpen yang setengah jadi (pastinya buatan gue), gue bakal nyobain bikin karakter yang lebih spesifik dan dimasukin ke blog. Kadang mereka juga gue bikinin cerpen yang benar2 pendek seh. Atau kalo cuma konsepnya aja yang ada dan gue kesusahan buat nulis secara tegas, pastinya bakal berakhir di buku catatan. Hal terakhir yang berbeda adalah, gue lebih seneng (baca: sering) nyimpen di otak daripada nulis. Kalo ditulis kadang2 ngeblank sendiri. Aduuh…-_-;
ehm , makasih udah mampir kemarin .
sering – sering mampir ya
Oalah, gitu to. Iya, aku sendiri jg suka “motret” (lewat pena
dan kertas) ide yg melintasi otak secara tiba2 kyk komet gitu.
Soalnya, ide2 itu biasanya bagus. Tp datangnya nggak aturan.
Kadang2 pas bener2 udah mau tidur, muncul. Kalau aku males
menulisnya saat itu (saking ngantuknya), dijamin besoknya
nyesel, krn mau dipikir sekeras apapun, ilham yg sama seperti
kemarin malam seringnya ogah datang lagi. Jd, paling nggak, krn
lampu udah dimatikan, aku ketik garis besar ide sekelebat itu di
HP, baru besoknya (atau kapan kek) digali lg. Tp cerpen itu investasi dana jg lho. Menimbun cerpen sama dg menimbun sertifikat investasi. Hanya, utk menguangkannya emang tdk bisa langsung. Trims, Rick! (Nggak nyangka nih, komikus ternyata nyerpen jg :P)
Trims jg buat Resa “Scarion”. Wah, daya ingatmu kuat jg ya.
Kalau aku, bakalan lenyap tuh dari otak. Minimal idenya
tereduksi sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.
Sama2, Said. Eh, btw, ada sesuatu yg kukagumi dari blogmu, Said. Nanti aku email kamu buat bicara soal ini ya. Thanks.
ok dech aku tunggu ya , o iya makasih juga udah mampir dan bersilaturahmi.
saya menunggu email nya .
di dyandrawicaksono@yahoo.co.id
ok, saya sepakat dengan anda. semoga rekan-rekan yang hobi dan berbakat menulis segera merespon dan tergugah untuk menulis cerpen bukan hanya menulis sms. kalau cerpen kan menghasilkan uang (katamu sih) kalau sms menghabiskan uang. semakin banyak menulis cerpen semakin besar penghasilan kita dan semakin banyak menulis sms semakin banyak pulsa kita habis
Nulis cerpen vs nulis SMS? Hahaha, pembandingan yg curang, Mas Masykur. Tp mengena tuh! Terima kasih ^_^.
terima kasih sudah sering silaturahmi ke blog saya
bener banget. wah, detil banget ya… thanks mas bhanto… jadi pengen nulis cerpen terus nich.hahaha…
oya, saya sering terganggu (malah ngeri) dengan istilah yang tadi disebutin: “bakat” dan “kemujuran”. kesannya itu anugerah buat individu2 dan kadarnya beda2. gimana dengan orang yang (merasa) gak punya bakat, gak mujur, dan akhirnya kena writer’s block pula? pity and poor…… hehehe… 🙂
Trims, Lin. Wuah, aku minta maaf kalau istilah itu malah mengecilkan semangat. Sori 1000x deh :P. Tp bukankah “kemujuran”, dlm bidang apapun, bisa didapat dg usaha? Kemujuran seseorang, menurutku, adalah efek samping dari usaha2 kerasnya. Ketidakmujuran bukan takdir yg tdk bisa diubah. Sok filosofis dikit nih, gpp ya, hehehe ….
lam kenal
Aduh kebetulan buka situs disini, jadi agak pede buat nulis cerpen….sebenarnya banyak ide yang tertulis tapi baru bisa disimpan dalam hati dan pikiran, gmn caranya cerpenku biar dimuat beberapa tabloid or majalah. makasih infonya
Terima kasih udah mampir, Resmana. Wah, aku takut aku nggak punya resep cespleng buat itu. Krn emang menurutku nggak ada jalan pintas menuju sana, kecuali dg terus memperbanyak jam terbang.
tulisan yang menarik (walau agak bikin pusing dengan logika passive income-nya) saya sendiri sejauh ini membuat cerpen kalau ada hal yang-yang ingin saya ungkapkan dalam bentuk alegori.
Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, fenomena sosial, introspeksi diri, menurut saya sangat cocok untuk menjadi cerpen, karena proses pembuatannya relatif lebih cepat, dan dengan jumlah kata-kata yang singkat, mampu menyampaikan maksud kita pada pembaca.
Yaah itu sih selera saya kalau membaca cerpen, menurut makna cerpen jauh lebih dalam daripada novel, walau menurut saya, agak sulit membuat karakterisasi dan plot yang kompleks dalam wadah cerpen.
Hahaha, logika passive income bikin pusing ya? Sebetulnya tulisan ini lahir krn menurutku banyak yg meremehkan cerpen. Cerpen selalu dianggap tak lebih dari sekedar batu loncatan utk menuju epenulisan genre fiksi yg lain.
Dan ironisnya, orang yg paling keras meremehkannya adalah aku sendiri ^_^. Maka bagian lain dari diriku coba membantah itu.
Mencari2 alasan logis kenapa membikin cerpen itu bukanlah sesuatu yg sia2, sekalipun banyak ditolaki media, sekalipun cuma sedikit yg berhasil menghasilkan uang. Dg logika “cerpen = investasi”, akhirnya bagian dari diriku yg pro cerpen menang. Telak.
Lagian kalau dipikir2, cerpen berguna jg. Pengalaman hidup dan pemikiran, seperti katamu, cocok dijadikan cerpen. Ngomong kasarnya, diary-ku sekarang berupa cerpen! Nggak mau sekedar “dear diary” lalu diteruskan dg penceritaan yg poin per poin. Nggak bakal bisa dijual tuh diary kyk gitu 😛
sebenernya mungkin aku blm patut berkomentar, karena aku pendatang baru…..aku hanya seseorang yg punya keinginan untuk menulis tapi sampai saat ini belum terealisasikan…..
jadi satu2nya kata yg mungkin patut aku tinggalin adalah salam kenal untuk para senior…..jika tidak sudi mohon bagi ilmunya….
Thx udah mampir, Fingers Lady. Salam kenal. Bingung nih, “jika tidak sudi mohon bagi ilmunya”, maksudnya tuh gimana?
Tulisanmu memprovokasiku buat tetap semangat & yakin kalo menulis adalah jalan hidupku (ck, ck, ck…). Dan dari mana aku mulai? Cerpen. Ya, cerpen, soalnya bentuknya simpel dan padat. Aku emang lebih nyaman nulis cerpen ketimbang sodara2nya, walaupun suatu hari nanti aku pengen juga bikin novel, naskah drama, skenario film, sajak. Beberapa kali nyoba nulis novel tapi nggak pernah tuntas, berhubung aku orangnya cepat bosan.
Aku punya banyak stok cerpen. Dikirim ke media cetak nggak ada yg dimuat satu pun (atau ada tapi aku nggak tahu krn jarang beli koran… tidaaaak!!!). Paling2 cerpen & tulisanku yg lainnya dipajang di beberapa web site atau blog, termasuk Wufi (makasih Brahm).
Kalau cerpen2ku dikalikan ratusan ribu rupiah, aku kaya banget! Belum lagi beberapa ide cerita masih bercokol di otak. Ternyata kepalaku adalah gudang uang! Lalu kapan semua itu berubah wujud menjadi lembar-lembar uang? I just keep fighting & praying… Kalau media cetak tidak atau belum sudi memublikasikan tulisanku, media on-line-lah yg aku pilih.
Nggak ada keuntungan finansial dgn memajang tulisan di internet (ada? Di mana?). Tapi minimal, mudah2an, tulisan kita diapresiasi. Ini berguna juga buat nyari eksistensi. Para pelanggan Wufi, misalnya, pasti penasaran dgn karya2 yg dipublikasikan di sini. Masuklah mereka ke ‘Unduh Gratis’ (siapa yg nggak ngiler denger kata gratis?), terus mengunduh salah satu karya misalnya Mawar Merah Darah, terus baca nama & karyaku. Nah, itulah titik awal jd terkenal (aku udah terkenal belum ya?). Lumayan kan? Ya buat langkah pertama sih, relakan saja karyanya nggak dibayar.
Masalahnya, profesi penulis (cerpenis, novelis, esais… apapun) di negara kita nggak (atau belum) setara dgn dokter atau karyawan bank, kecuali di kalangan tertentu. Aku setuju dgn posisi penulis sbg self employee atau investor. Tapi tetep aja penulis dianggap remeh, di bawah dokter bahkan guru honorer. Pendapatku mungkin terlalu personal. Harap maklum, aku tinggal di lingkungan yg awam dunia tulis-menulis. Buat orang2 di sekitarku, bekerja adalah melakukan sesuatu di dalam ruangan bernama kantor dari pagi sampai sore atau malam dan tiap bulannya nerima gaji. Aku sendiri suka bingung ngejawab pertanyaan orang2 kalo ditanya ‘kerja di mana?’. Aku bilang ‘kerja di rumah’ soalnya aku kalau nulis pasti di rumah (kalo nyari inspirasi bisa di mana aja). Eh, mereka malah ketawa, dikiranya aku becanda atau mengerjakan pekerjaan rumah biasa kayak ngepel, nyuci, tidur. Tapi sampai skrg, karya2ku memang belum menghasilkan apa-apa, jadi belum bisa ngasih bukti ke orang2 kalo aku bisa
makan dan syoping sepuasnya dgn menulis.
Sama kayak Linna, aku juga ngeri sama yg namanya ‘bakat’ dan ‘kemujuran’. Aku nggak tahu sebetulnya aku punya bakat nulis atau nggak. Lalu di manakah kau bersembunyi selama ini, wahai Kemujuran? Selama ini aku ngerasa kayak jauh banget dr yg namanya kemujuran. Yah… hopeless lagi deh…
Wah, karyamu banyak tp yg dikirim ke Wufi kok cuma dua, hehehe …. Iya, penulis rasanya masih dipandang sebelah mata. Tp jgn hopeless lah. Krn tetanggaku yg bijak bilang, “Justru perasaan hopeless itu yg menyebabkanmu tidak mujur.”
sebenarnya ketika gw menciptakan cerpen gw gak butuh nobel..karena ketika karya gw dimuat dan disuka ama khalayak itu semua udah jadi nobel yang berharga dalam hidup gw…
.-= fitria´s last blog ..hari ini ujian pidana =-.
Sepakat sekali dgn anda !
lagipula, bagi penulis, menulis itu ibarat bernafas… tak lebih dr kebiasaan… jgn kan rugi, malah menulis bisa jd therapy buat jiwa (kata psikolog)
jadi…. Mari berinvestasi di cerpen..
.-= Cerpen´s last blog ..Karma =-.
Terapi jiwa. Cocok, Mas Anto! Itulah yg saya rasakan.
Terima kasih atas tulisan yg membuat semangat menulis cerpen. Tulisan anda sudah membuktikan bahwa anda adalah seorang cerpenis atau penulis novel dsb., karena sudah berbau kiasan dan membuat orang agak mikir kalau membacanya.. He he tks