Hm, Rupanya Begini Cara Dan Brown Menulis

Dan Brown

Siapa tak kenal novelis Amerika satu ini? The Da Vinci Code-nya telah memantik obor pro-kontra di seantero planet, termasuk di Indonesia. Tapi saya bukan berniat mengulik-ngulik kontroversi itu. Di sini saya cuma ingin membahas teknik Dan Brown yang menurut saya mengusung cara baru dalam penulisan thriller modern. Yah, saya tahu, kalau dirunut ke belakang, Brown bukanlah yang pertama melakukan kombinasi teknik ini. Namun setidaknya dia kan yang terkenal.

Bab-bab di novel Brown kebanyakan disusun pendek-pendek. Bukan tanpa maksud. Bab-bab pendek ini akan membuat novel setebal apapun jadi mirip kue enak yang bisa dipotong di bagian manapun. Meski biasanya pembaca tidak mau segampang itu memotong bacaannya, lantaran Brown hampir selalu meletakkan kalimat-pemicu-penasaran pada akhir bab.

Dengan kalimat tersebut, secara psikologis, orang yang ingin menghentikan bacaannya, akan merasa penasaran untuk beranjak ke bab berikutnya. Di otak pembaca, ramuan ini bakal menimbulkan efek, “Teruskan dikit lagi deh. Kan babnya pendek. Satu bab lagi!”

Lalu, apa yang terjadi? Begitu pembaca meneruskan satu bab tambahan, dia akan mendarat di kalimat-pemicu-penasaran yang baru. Lalu dia kembali melanjutkan bacaannya sambil bersumpah dalam hati, “Satu bab lagi deh, suer! Satu bab pendek lagi!” Begitu seterusnya. Sampai pembaca itu tidak sadar, sudah berapa bab dia lahap sebelum benar-benar berhenti dan meletakkan novel tersebut.

Tapi permainan psikologis semacam ini tentu tidak selamanya cespleng. Di alam posmodern ini, minat konsumen adalah raja. Saya, misalnya, lebih antusias saat membaca Digital Fortress (1998), ketimbang Da Vinci Code (2003) yang bercerita tentang semiotik di balik simbol-simbol agama atau Deception Point (2001) yang menggerojoki pembaca dengan tetek bengek politik. Tak peduli beberapa bilang Digital Fortress merupakan karya Brown yang paling tidak matang (maklum, itu novel pertamanya). Tak peduli yang menjadi best seller adalah Da Vinci Code. Bahkan tak peduli Angels & Demons (2000) kata orang lebih menggigit ketimbang Da Vinci Code. Persoalannya satu, belakangan ini saya menggandrungi segala yang berbau cyber. Dan itu ada di Digital Fortress.

Dalam keempat karyanya, Brown selalu menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dengan begini, enigma demi enigma lebih gampang diurai. Saya berani bertaruh, buku-buku Brown bakalan tambah gendut kalau menggunakan sudut pandang orang pertama.

Terlalu banyak misteri dan konspirasi. Orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian. Dia perlu “menyerahkan” pekerjaan itu pada orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga menurut Orson Scott Card (2005) terdiri dari gaya pengarang “mahatahu” dan “orang ketiga terbatas”. Semuanya memungkinkan cerita untuk dilempar-lempar dari mata satu tokoh ke mata tokoh lain.

Dalam persepsi mahatahu (atau oleh William Noble, 2006, disebut “orang ketiga obyektif”), penulis lebih bebas melakukan itu. Misalnya dalam satu bab, penulis bisa mengisahkan apa yang ada di tokoh Robert Langdon, lalu tiba-tiba melempar pembaca ke tokoh Silas, lantas ke Sophie Neveu. Terus bergulir bergantian seperti itu.

Namun lebih tepatnya, Brown memakai sudut pandang orang ketiga terbatas (oleh Noble dinamakan “orang ketiga subyektif”). Keunggulan pendekatan ini adalah keterangan tentang tokoh dapat lebih mendalam, hampir semendalam sudut pandang orang pertama. Tidak sekedar meloncat-loncat, tapi meloncat lalu diam sambil mengeruk fakta subyektif dari kepala sang tokoh, baru kemudian meloncat lagi ke tokoh lain, dan menetap lagi.

Disebut “terbatas” karena memang batasan antara meloncat dan menetap itu jelas. Misalnya ditandai melalui pergantian bab. Atau kalau loncatan sudut pandang itu terjadi dalam satu bab, penandanya lazimnya spasi kosong, atau tiga bintang (* * *). Bagian di atas tiga bintang itu, umpamanya, mengisahkan Susan Fletcher dan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya, sementara bagian bawah dari tiga bintang menceritakan David Becker dan permasalahan di sekitarnya.

Tak ayal, novel-novel Brown senantiasa multialur. Namun itu tak pernah menjadikannya longgar. Novel-novel Brown bukan angkot yang acap berhenti atau kadang berjalan lambat menunggu penumpang. Novel-novel Brown adalah kereta api eksekutif yang berhenti seperlunya, dan sesebentar mungkin.

Bahkan di akhir membaca Da Vinci Code dan Digital Fortress, saya hanya melongo: Semua ribut-ribut seru itu terjadi dalam semalam saja? Novel 500 halaman lebih itu nyaris seluruhnya membicarakan kejadian yang berlangsung cuma sehari?

Padahal, terus terang, saya baru bisa menghabiskan satu novel setebal itu dalam beberapa hari (saya pembaca yang lambat). Ini artinya, kejadian-kejadian yang diciptakan Brown mengalahkan realtime saya. Alurnya berjalan di atas waktu pembaca (dalam hal ini saya) di dunia riil, saking rapatnya.

Konflik reda, hadir aksi. Aksi antiklimaks, eh, konflik malah meruncing. Saya pribadi lebih suka novel tak kenal basa-basi seperti ini. Tak ada alur yang diulur-ulur. Tak ada kalimat puitis yang bertele-tele. Tak ada halaman novel yang bisa dilompati tanpa kehilangan keutuhan cerita.

Banyak lho novel yang membacanya saya merasa rugi waktu, sebab aliran cerita sengaja diperlambat. Biar tampak tebal, kali! Padahal novelis-novelisnya kelas atas lho. Ada juga novel yang alurnya tak maju-maju. Ketika tokoh utama melihat mobil, dia mendeskripsikan mobil itu sampai sehalaman. Berjalan sedikit lagi dan mata sang tokoh tertumbuk pada sebuah gedung, dia cerita lagi sepanjang dua halaman, kali ini mengenai sejarah perpolitikan gedung tersebut. Lantas memandang cewek di jalan, sang tokoh tiba-tiba merenung, sebanyak tiga halaman dia flashback ke memori tentang mantan pacarnya. Capek deeeh ….

Novel-novel Brown jelas bukan seperti itu.

Alur padat dan cepat ala Brown bisa jadi karena terlalu banyak materi yang ingin disampaikan pengarang. Sehingga materi-materi itu berjejal rapat dalam ruang yang “hanya” 500-an halaman tersebut. Lantas darimana materi itu? Dalam dunia kepenulisan, tertuduh utamanya hanya dua: Imajinasi yang kaya (seperti J.K. Rowling), atau riset yang mendalam.

Untuk Brown, saya menebak yang kedua lebih dominan. Deskripsi-deskripsinya untuk mengomunikasikan teka-teki agar tampak detail dan ilmiah mustahil dibangun lewat imajinasi belaka. Di sini, imajinasi hanya berfungsi untuk menghubung-hubungkan fakta supaya bisa disajikan dengan sedap. Kadang imajinasi juga dipakai untuk sedikit menggerus fakta, agar cerita tampil kinclong. Selama itu dalam koridor fiksi, selama di novel itu tidak ada tulisan “based on true story”, sah-sah saja kan?

Tapi siapapun yang pernah membaca pasti setuju, novel-novel Brown digarap lewat riset yang mendalam. Berapa narasumber kompeten yang digaulinya sebelum membuat sebuah konflik cerita secara apik? Berapa banyak buku yang dibacanya hanya untuk menciptakan satu tokoh? Berapa kali survei lapangan yang dilakukannya untuk membuat satu setting yang meyakinkan?

Saya tak pernah tahu. Namun saya yakin dia melakukannya. Sama seperti saya tak pernah melihat jantung saya sendiri, tapi saya yakin saya punya jantung. Terasa dari hasil kinerjanya.

BAGIKAN HALAMAN INI DI

40 thoughts on “Hm, Rupanya Begini Cara Dan Brown Menulis”

  1. Yeah….. Dan Brown kalo gue baca dari DF sampe DVC gaya penyampaianya gitu gitu aja, AD malah mirip banget ama DVC. Tapi emang bagus dan gue gak keberatan baca cerita cerita Mr. Brown berikutnya..

    Reply
  2. Mungkin saya orang yang paling sedikit membaca novel terutama yang berkualitas apalagi karyanya Mr Brown. Namun saya yakin memang benar-benar bagus seperti yang diurai Brahmanto Anindito. Saya sering baca novel,tapi baru beberapa halaman saya lahap,sudah tidak tertarik lagi untuk melanjutkannya.Sebenarnya tidak saya fahami kenapa sering mengalami hal ini,dan baru malam ini Brahmanto memberi tahu saya bahwa hal itu karena alur cerita yang diperlambat dan banyak`halaman` mubazzir sehingga terasa seperti buang-buang waktu saja membacanya.Saya ingin sekali memakai tehnik Brown ini dalam penulisan novel pertama saya yang baru saya rangaki hampir satu halaman.

    Reply
  3. Yeah, juga. Bang Dadok bener. Rada monoton ya. Gaya cerita di novel2 Brown emang mirip2. Tapi nggak masalah kan? Tiap penulis punya kekhasan. Kalau gaya cerita itu ganti2 tiap novel, saya malah curiga itu novelnya orang, hahaha …. Thx 4 commenting, Bang Dadok. Come again, pls.

    Reply
  4. Terima kasih atas komentarnya, Mas Ahmad. Wah, berarti sampeyan mungkin sama dg saya, menggemari cerita-cerita beralur cepat. Tapi ngomong2, ada lho pembaca yg suka dg cerita yg lambat dan diulur2. Pembaca tipe gini mungkin akan “jantungan” kalo baca cerita-cerita Dan Brown yg ekspres, hehehe. Saya dukung novelnya, Mas. Biar sastra Indonesia semakin beragam. Semoga sukses ya ….

    Reply
  5. bujubune, dalem juga tuh pengamatannya. Gue salut dah. kebetulan gue juga penggila berat DanBrown. Cuma sekarang lagi kesel, lantaran 3 buku beli yang asli, trus lagi muter-muter kwitang-senen eh tukang buku yang diemperan nawarin, 30rebu mas, jelas aja gue ketarik, lha buku aslinya kan 78rebu. Dengan sedikit ngrasa berdosa, gue ketarik beli yang bajakan, eh pas udah dirumah, mau dibaca isinya acak-acakan. urutan babnya kebalik-balik. Dua minggu kemudian gue dateng ketokobuku emperan itu.Setaaan! Sipenjual pura-pura ga kenal gue. ga mau ganti. Gue langsung tobat.Gue beli buku 4 biji, tebel-tebel;serial gajah mada, gue liatin deh didepan siabang. “Neh gue baru beli buku, mahal! tapi ga pa.Gue tobat bang beli buku bajakan! Apalagi buku karya bangsa sendiri.”

    tapi….
    Emang bener kata komentator di bukunya”dan brown benar-benar menyiksa”. Cuma…gue juga kayaknya punya gaya tulis yang rada-rada mirip dikit ama mr.DB itu. padahal novel yang gue susun itu udah 1/3nya jadi, jauh sebelum gue baca Dan brown.

    salam gud-lak buat semua pecinta sastra…

    Reply
  6. Thanks udah baca tulisan saya dan berkomentar. Iya bener, Bang Technokrat (hehehe, abis nulis namanya gitu sih). Tp kalo mau balikin yg bajakan ya jgn sampe 2 minggu lah, jelas aja orangnya udah males. Lebih baik lagi: Beli yg asli. Biar kalo novel kita ntar terbit, orang jg pada beli yg asli (nggak kena karma, hehehe). Gaya mirip2 Dan Brown? Wah, boleh jg tuh. Atau jangan2 Dan Brown yg adopt gaya Bang Technokrat ini? Hehehe. Sukses ya buat 2/3 sisa novelnya.

    Reply
  7. mr. brown?? uh, yang mana seh!! wah..wah.. kayaknya aku ketinggalan jauh nih… dengan umur segede ini aku gak kenal mr. brown. dia mang siapa seh?? mr. brahm plis!! bantu aku ‘cinta’ sama sastra donk! sebenarnya dari SMA aku seneng banget baca – baca buku… semuanya aku ‘lahap’ tapi aku gak pernah terjun langsung mencoba mmbuat tulisan-tulisan. dulu sih yang penting aku baca! gak lebih. ya, bisa dibilang aku ini cuma sebagai konsumen atau yang nonton aje… gak lebih!! tapi, sekarang-sekarang aku ngebet banget pingin bikin novel.. boleh dong aku nanya… ada gak sih hal-hal yang harus kita perhatikan dalam membuat cerita/novel? kalau ada apa saja? dari segi penulisan gimana?dari bahasa? lalu latar cerita??? pokoknya semuanya deh tentang cinta, eh, tentang cerita. kalau bisa kirim aja ke: suminta01@plasa.com. oia, semua pembaca juga boleh deh bantu aku… salam semangat buat pejuang sastra!!

    Reply
  8. Thx, Suminta, atas komennya. Mr. Brown alias Dan Brown ya yg nongol fotonya di atas tuh. Dia yg nulis novel2 thriller macam yg kusebut di tulisan atas. Melejit sejak karyanya yg kontroversial, Da Vinci Code. Kontroversi karena di novel itu antara lain diceritakan Yesus punya anak. Brown nggak asal tulis, karena didukung data2 yg meyakinkan (valid tidaknya data itu aku nggak kompeten utk menilai). Tp itulah yg bikin umat Kristiani protes. Fiksi + fakta = fiksi. Tp mrk tetap nggak bisa menerima itu, tetep nganggep Da Vinci Code adalah novel sejarah (sehingga berpotensi menyesatkan umat). Rumus fiksi + fakta = fiksi adalah matematis. Padahal agama diserang (dlm hal ini dg novel) adalah urusan psikologis. Jadi rumus itu seolah tidak berlaku lagi. Mrk tetap menghujat Brown. Film Da Vinci Code pun direkomendasikan banyak gereja utk diboikot. Tp adalah hukum di dunia seleb bahwa semakin kontroversi, semakin terkenal dan larislah dia.

    Jd kalau mau novelmu kondang, bikinlah kontroversi, hehehe (ya jangan lah!)

    Suminta, buku cara bikin cerita banyak banget di toko buku dan perpustakaan. Kamu bisa baca untuk mengasah dan dapat inspirasi. Tapi saran yg general dan direkomendasikan hampir semua penulis beken: Banyak2lah membaca karya orang lain, sambil langsung mulai menulis ceritamu sendiri secara konsisten. Hanya itu yg bisa aku saranin. Soalnya aku termasuk yg percaya bahwa yg tahu kehebatan kita adalah diri kita sendiri. Tips orang belum tentu cocok utk diri kita. Jadi cari tahu aja kamu hebat dimana. Jgn kuatir, prosesnya menyenangkan kok ^_^.

    Bagi yg mau bantu Suminta, silakan hubungi emailnya. Ini undangan terbuka nih.

    Reply
  9. aneh kali si Brown tuh…..
    napain pula buat buat novel bawa2 nama Tuhannya orang Kristen
    kalo mo buat novel gak usah buat2 kontroversial gitulah ntar yang ada orang yang belon beriman malah makin goyah
    Buat novel kayak LOTR ato Harry Potter lebih menarik because it is really2 a science fiction n we can read it more comfortable tanpa harus pusing2 mikirin benar ato tidak soalnya semua benar2 boongan………
    Pokoknya yang buat si Brown itu terkenal bukan karena dia pande buat alur ceritanya btw krn orang penasaran aja……….
    Da Vinci Code gak bermutu……….

    Reply
  10. idem deh ma brahm,,,

    mengenai kontroversi mah terserah persepsi masing-masing, tapi klo mengenai novelnya, Mr. Brown itu emang T.O.P BGT. kebanyakan novel yang vio baca emang suka dipanjang-panjangin gitu deh,, gajebo banget,,!! lebih banyak jelasin hal-hal yang kagak ada kaitannya ama alur cerita, cuma mau nambahin halaman doank,trus biar tambah mahal harganya klo udah dicetak and diterbitin,,,hehe

    vio pengen banget bikin novel yang punya alur kayak novelnya Mr. Brown ini, gimana sich caranya? tolong jelasin donk..!!! thx b4

    Reply
  11. Thx buat Dayvan, Anti-atheis dan Vio. Semua memang kembali ke kuat-tidaknya apa yg kita yakini.

    Vio, udah bukan rahasia bikin novel tipe gini hrs kuat di riset, dan punya imajinasi untuk berspekulasi membuat alur. Gampangannya sih try and error aja. Tulis langsung. Nanti kalau udah jd, dibaca ulang. Diperbaiki. Tulis lg. Dikoreksi lagi. Gitu terus. Lama2 kan novel itu sesuai dg mau kita.

    Reply
  12. saya juga terkagum2 dengan teknik penulisan dan brown, beliau bisa membuat tulisan yang memang bikin penasaran seperti itu. DVC saya baca di komputer dan selesai dalam dua hari. hahaha.

    terlepas dari segala kontroversi DVC, tapi harus diakui, Dan Brown adalah pencerita yang brillian. Kecuali deception point yang gak saya lanjutin, ketiga karya lainnya memang oke.

    Reply
  13. Thanks, Calvin. Menarik emang lihat fakta bahwa novel best seller bisa lahir dari bermacam genre. Ada yg best seller karena imajinatif, ada yg krn bikin bulu kuduk merinding, krn menegangkan, menyedihkan, kontroversi, dsb. Kita jd belajar banyak di situ (baik tentang teksnya, maupun konteksnya).

    Satu pertanyaan, Dan Brown kok nggak bikin novel baru? Udah lumayan lama vakum nih.

    Reply
  14. hemm, ada beberapa alasan kenapa Dan (dan..brati dia org Indonesia, kalo orang Londo pasti “And Brown”) Brown lagi vakum:
    1. Dia sudah kaya, dan pensiun menikmati royalti,
    2. Sedang meriset secara mendalam karya barunya,
    3. Sedang terlibat konspirasi secara aktif,
    4. Beralih jadi blogger,
    5. Teracuni plurk,
    6. …..

    Ah, sebaiknya jangan diteruskan.

    Untunglah, keempat karya Dan Brown dah baca semua, walo pinjem semuah. Dan yg aku sukai adalah fakta2nya,intrik2nya, dan speed alur ceritanya (bikin sewa bukunya jadi ga mahal, karna terlalu lama).
    Pelipur lara, setelah karya2 Michael Crichton lama ga diterjemahin ke Indonesia.

    Reply
  15. Oh, tidak dong, Kang Pradna. Dan Brown pasti blasteran Indonesia-Londo. Soalnya kalau total Indonesia namanya pasti Dan Coklat. Hehehe ….

    Enaknya jd penulis novel ya gitu. Sekali pukul. Hits. Lalu nyantai. Passive income. Yg susah, nulis nggak hit-hit, kapan nyantainya, hahahaha ….

    Reply
  16. Ada juga novel yang alurnya tak maju-maju. Ketika tokoh utama melihat mobil, dia mendeskripsikan mobil itu sampai sehalaman. Berjalan sedikit lagi dan mata sang tokoh tertumbuk pada sebuah gedung, dia cerita lagi sepanjang dua halaman, kali ini mengenai sejarah perpolitikan gedung tersebut. Lantas memandang cewek di jalan, sang tokoh tiba-tiba merenung, sebanyak tiga halaman dia flashback ke memori tentang mantan pacarnya. Capek deeeh ….

    Tulisan mas Brahm yang bercerita tentang kebagusan karya-karya Dan Brown sungguh bagus. Tapi, punten, saya pikir Mas tidak perlu men-Capek Deh-kan karya-karya lain yang mendeskripsi hal-hal biasa/sederhana dengan detil (dan mungkin melebar). Dan tentu saja penulis-penulis yang menulis dengan tempo lambat itu tidak berarti tidak lebih bagus dari karya-karya bertempo tinggi. Karena bagi saya sendiri (dan mungkin bagi beberapa orang selain saya)karya-karya bertempo lambat dan ‘bertele’tele’ malah sering menjadi semacam media untuk merenung. Nuhun.

    Reply
  17. Oh ya, Kang Acep, tentu saja kita punya selera masing2. Film bertipe lambat dan diulur2 pun banyak yg suka, meski sebagian besar tidak. Saya hanya mengekspresikan ke-capek-an saya membaca karya2 renungan spt itu.

    Sama kyk membaca karya2 Gibran yg mahsyur itu. Indah, tapi, jujur saja saya lelah setelah baca beberapa bab.

    Maaf kalau ungkapan “capek deh” itu menyinggung Anda (dan para penikmat karya2 bertempo lambat). Sori kalau udah menohok selera Anda. Saya nggak bermaksud begitu lho. Itu cuma ekspresi apa adanya dari seorang Brahm.

    Nuhun, Kang udah mampir. No hard feeling ya.

    Reply
  18. artikel yg menarik mas..
    anda menguliti satu persatu karya Dan Brown. bukti bahwa anda memiliki referensi yg lebih dr cukup untuk setiap artikel yg anda tulis. jd kami pembaca merasa ‘harus terjebak’ di site ini utk membacax sampai tuntas.
    trima kasih banyak…
    salam salut…

    Reply
  19. Jujur aja karya Dan Brown yg ku baca hanya “The Davinci Code”, itupun berdasarkan rekomendasi teman. DVC emang sebuah karya luar biasa yang sebagaimana mas Brahm yakin, q juga yakin bahwa karya ini melalui riset sehingga data2nya juga gak asal-asalan. Bisa jadi ini adalah perenungan Mr. Brown akan kekurangan/kejanggalan yg ditemukan dalam “sesuatu” yg pernah diyakininya sehingga melakukan riset dalam rangka ingin menemukan kebenaran. Semoga Mr. Brown mendapatkan hidayahNYA. Aamiin.
    .-= yuki´s last blog ..Selamat Jalan Mbak Rina, kakakku, sahabatku, inspirasiku… =-.

    Reply
  20. Novel-novel karya Dan Brown memang menakjubkan. Semua novelnya menyuguhkan cerita yang tidak terprediksi. Gaya bahasanya lugas, deskripsinya tidak terlalu puitis, sehingga ringan dibaca untuk novel yang berat.

    Detail-detail yang dibahas sungguh menggugah rasa ingin tahu. Riset-riset macam ini memang harus selalu dilakukan bagi para novelis. Bahkan imajinasi macam J.K. Rowling pun saya kira tetap haru melakukan riset.
    Abex´s last blog post ..BJ Habibie: pesawat N250 masih yang terbaik

    Reply
  21. Aku telah melakukan riset yang mendalam. Percayakah kamu, aku telah merebut istri tuhan. Sebenarnya tuhan tidak dapat memiliki anak. Tentu saja istrinya kecewa dan berpaling kepadaku. Tapi syukurlah aku tidak mandul sehingga terlahirlah anak-anak ka mi sebagai manusia pramassa -cikal bakal manusia seluruh masa. Selayaknyalah kalian berterimakasih kepadaku yang mampu menciptakanmu. Dan tuhan pun murka. Karena kasihnya mendahului murkanya, lalu tuhan menciptakan iblis sebagai bentuk kasihnya untuk menyelubungi murkanya. Pastinya iblis senantiasa menyengsarakan umat manusia dan menguji keimanannya. Namun terlahirlah Hadess pada satu masa umat manusia berada di dalam ambang kehancuran dan iblis hampir menang. Saat itulah antiklimaks bermula. Iblis perlahan musnah. Dan tersingkaplah cadar kasih tuhan dan tampaklah murkanya kepada manusia. Namun manusia tersadar dari kefanaan dan bersanding dengan kebenaran. Dahulu sebagai kutukan tuhan aku ayah kalian semua, dikutuk menjadi iblis setalah mencumbui ibu kalian. Pada akhrinya Hadees dan prajuritnya mampu mengalahkan dan memusnahkanku menggunakan pedang tauhidnya. Sejak itu tuhan merangkul kalian dengan cintanya dan mengangkat manusia sebagai buah hatinya. Walau aku, iblis, pun ayah kalian,

    Reply
  22. Walau aku, iblis, pun ayah kalian musnah dan terkalahkan, setidaknya masih bisa tersenyum lega melihat anak-anak kAndungnya dapat bersenda-gurau di dalam kerajaan surga dan menjadi anak-anak kandung tuhan. Memang sepantaslah tuhan yang menjadi ayah kalian… Dan pada kalimat terakhir tuhan, ia berkata, “Terjadilah!” Maka semua dibangkitkan di dikumpulkan menjadi satu padu kepada dirinya, seperti kejadian semula.
    Setting ; Bumi Indesia prapradaban.
    Alur ; Maju-mundur.
    ****
    Maaf hanya sinopsis sebuah Fiksi.
    Silahkan siapa yang berminat untuk mengadopsinya dan mengembangkannya menjadi sebuah Novel, yang mudah-mudahan kontroversi. Dan jangan lupa bersedejah. Salam.

    Reply
  23. Sebagai fans Dan Brown, kayanya saya perlu meninggalkan jejak di sini.
    Tulisan yang bagus. Ya, karya Brown membuat penasaran karena gaya berceritanya yang lugas, singkat, padat, namun tampak berisi riset yang mendalam.

    Karya Dan Brown seperti Lost Symblol punya akhir yang agak mengecewakan karena dia mencoba menjelaskan segala hal. Itu tentu pendapatku saja.

    Salam kenal.

    R.Mailindra
    http://mailindra.cerbung.com
    R.Mailindra´s last blog post ..Trik agar Rutin Ngeblog

    Reply
  24. wah tenyata ada yang berpikiran sama seperti saya bahwa dan brown menggunakan riset dalam gaya menulis…..seandainya mas juga bisa bahas gaya penulis indonesia seperti Teye Liye….saya mungkin mencintai artikel ini selain Dan Brown….saya lebih suka membaca Inferno keluaran terbaru dari Dan Brown,tapi karena latar belakangnya jauh dari nalar,maksudnya yg belum pernah pergi ke tempat latar belakangnya dan brown ini susah juga untuk disimak,ujung2nya saya searc dulu di google bagaimana c italia, turki dan beserta apa2 yang ada didalam bukunya….dan ternyata saya pikir itu terbukti dibukunya,jika saya tidak salah berpikir yah bahwa dan brown ni ingin menyampaikan fakta secara terbuka dibukunya dengan cara menyentuh sastra……saya suka itu…..

    Reply
  25. Paragraf yang pendek akan menguatkan tensi. Dan Brown tahu betul hal ini. Teknik-teknik dia seperti di atas sudah terbukti best seller dan bisa dipelajari untuk diterapkan dalam karya-karya kita.

    Thanks! Saya suka informasinya! XD

    Reply
  26. Saya setuju mas brahm, risetnya mas brown ini pasti gila gilaan, Dan menurut saya, satu dari sekian banyak alasan yang membuat pembaca menyukai karya karya mas brown adalah begitu kayanya novel beliau tersebut dengan informasi mengenai hal hal yang apabila tidak disikapi dengan bijak terlihat seolah sebuah propaganda, mas brown juga terbiasa menggunakan informasi mengenai hal hal yang TER-ini-itu .. Haha
    Contoh : TerModern, Terdingin, Terbesar, termahal dll dsb..
    Yang saya yakini (entah karena Alasan apa) ikut menambah ketertarikan pembaca untuk menuntaskan bacaannya dan menyerap informasi sebanyak banyaknya dari novel tersebut.

    Mari kita doakan semoga semakin banyak penulis penulis sekaliber mas Dan Brown, mbak JK Rowling atau Sir Arthur Conan Doyle di masa depan, dan semoga salah satunya merupakan penulis Indonesia..

    Terima kasih mas brahm, bisa comment disini saja saya sudah senang. Hahaha

    Reply
  27. baru baca kemarin da vinci code.. dan gua udah tau kalo novel ini tuh banyak banget teori konspirasinya. walau gua pertamanya males baca nih novel tapi kayak yang di omongin sama mas author, setiap ketemu sama akhir bab pasti kepengen baca kelanjutannya. dan akhirnya selama 2 hari satu malem gua habisin waktu buat baca novel ini. 😀

    Reply
  28. Selamat siang. Saya suka cara Anda mengulik Mr. Brown. Saya jug yakin seperti Anda, kalau Mr. Brown harus riset pnjang terlebih dulu sebelum menulis. Ada satu pertanyaan yang mengganjal setelah saya membaca review Anda. Apa yang Anda maksud dengan multialur? Saya sudah baca buku teori pembentukan fiksi dari Nurgiyantoro tapi tak menemukan persoalan tentang multialur. Anda sudah pernah dengar tentang Fictogemino? fiksi kembar dengan alur ganda. apakah itu sama dengan multialur yang Anda maksud?

    Reply
  29. DAN BROWN penulis novel thiller terbaik yang pernah saya baca, cerita penuh tekateki melebihi sherlock holmes sangat apik dirangkai. agree.

    Reply
  30. Saya salah satu penggemar berat karya karya dan brown, dari mulai digital fortress, angels and demons, dvinci code, the lost symbol sampai inferno… saya lahap semuanya… tapi saya gatau apa yg membuat saya penasaran sama setiap lembar nya, apa yg membuat saya tertarik sama novel yg katagori berat bgtu…. tapi setelah baca review diatas, saya baru tau rahasia nya dan brown hahahahah yg buat saya tergila gila dengan karya nya

    Reply
  31. Hahahaha baca ulasanmu senyum senyum sendiri saya, apa yang ada diisi kepalaku bisa kubaca ditulisanmu Mas, tidak suka bertele tele menceritakan mobil dan gedung 1-2 halaman hahaha ini ironi buat saya, termasuk novel Brown setebal >500 halaman hanya menceritakan sehari doang itu baru saya bahas dg rekan saya, tapi jelas dari beberapa buku hebat, yang paling kuat bagi saya selain riset dan imajinasi adalah dialog yang keren, seperti kata Mas, saya selalu ber ‘ohh’ ria ketika bertemu dialog yang tidak pernah terpikirkan dalam tiap percakapan entah dg siapa hahaha, terima kasih atasan tulisan Mas yang menyegarkan.

    Reply
  32. Untuk Dan Brown, no comment selain alur cepeeeet bgt. Hihihi kl pake softcopy mah enteng aja, tp kl hard cover, dah telanjur beli buat baca iseng seblm tidur, mlh jd melekan semlam ga tidur smpe tamat paginya. Jdinya nyesel bawa/bl berat2 kl bukan buat koleksi wkwkwkw. Well said mas. Any Indonesian’s writer yg mirip gt stylenya? Mohon pencerahan. Makasih.

    Reply

Leave a Reply to Abex Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!