Antara Pelaku Industri Buku dan Sepakbola

Siang itu, seorang penerjemah mengirim surel. Dia mengaku sedang mengerjakan proyek pembuatan buku dan ingin mengetahui tarif saya sebagai ghostwriter atau penulis bayangan).

Soccer industry is pretty much like book industry

Setelah saya menjabarkan skema penarifan kami, dia kaget. “Mahal juga, ya!” katanya dalam surel balasan. “Tarif penerjemahan saya saja tidak segitu.”

Mendapat respon seperti itu, giliran saya yang berkerut dahi.

Membandingkan tarif penulisan dan tarif penerjemahan tentu kurang tepat. Setidaknya, itu bukanlah perbandingan apel dengan apel, sekalipun objeknya adalah naskah buku yang sama.

Penerjemah adalah orang yang menerjemahkan hasil kerja penulis. Sementara pekerjaan penulis itu mulai dari berpikir ide, meriset, konsultasi, wawancara, menyusun, menulis, membaca ulang, melakukan swasunting, sampai membongkarnya kembali bila terdapat revisi.

Saya tidak mengatakan penerjemah tidak perlu riset, membaca ulang, menulis ulang, dan seterusnya. Namun tetap saja, waktu kerja penulis umumnya lebih lama dibanding penerjemah, penyunting, korektor, penata letak, atau desainer sampul.

Maka jika kompetensi, reputasi dan jam terbangnya setara, pemberi kerjanya juga sama, serta statusnya sama-sama pekerja lepas atau sama-sama pegawai, sudah sewajarnya penulis dibayar lebih tinggi, bukan? Sebab, bila kita bukan bos atau pemilik usaha, selalu berlaku prinsip keadilan: siapa yang bekerja lebih keras dan lebih lama, dialah yang mendapat imbalan lebih banyak.

Untuk memberi gambaran sederhana, mari kita tengok dunia sepakbola. Di sana, ada pemain, pelatih, wasit, komentator, penonton, pencari bakat, sekolah sepakbola, dan seterusnya. Masing-masing memang memiliki peran yang penting. Tapi semua ada porsinya.

Pemain Bola

Dalam pidato Theodore Roosevelt di Sorbonne pada 1910, kira-kira, inilah yang dimaksud dengan man in the arena. Orang yang berjuang benar-benar di lapangan, yang wajahnya kotor oleh debu, peluh, dan darah. Aksinya adalah tontonan utama.

Kalau dalam permainan sepakbola, dialah pemain bolanya. Bola takkan melesat sendiri. Pemainlah yang harus menendangnya, menggiringnya sembari meliuk-liuk, berbenturan dengan lawan, bergulingan, kadang-kadang sampai cedera atau patah tulang.

Dalam industri buku, pemain tersebut adalah penulis. Tanpa penulis, industri perbukuan hanya akan menjadi seperti liga sepakbola yang dibekukan. Penerjemah, penyunting, penata letak, desainer sampul, distributor, bahkan marketing buku pun bisa kehilangan pekerjaannya.

Sebaliknya, tanpa semua profesi lainnya, penulis niscaya tetap bisa berkarya dan menjual karyanya. Pada era internet seperti sekarang, fasilitator penerbitan indie ada di mana-mana, dengan prosedur yang jauh lebih simpel dari penerbitan biasa.

Ada Wattpad.com, semacam media sosial bagi penulis. Blog pun cukup strategis untuk memajang karya-karya kita, yang mana jika pembacanya banyak, pengiklan bisa berdatangan memberi “honor”.

Pendeknya, para kreator konten seperti penulis, saat ini, benar-benar di atas angin. Mereka dapat berdikari. Kendati sepengetahuan saya, jarang sekali ada penulis bisa menjadi besar tanpa bantuan profesional-profesional di bidang lainnya.

Pelatih atau Manajer Tim

Tugas seorang pelatih dalam industri bola adalah menajamkan kemampuan anak didiknya, melatih kemampuan kolektif, tanpa melupakan aturan main yang ada. Terkadang tanggung jawab pelatih juga berkaitan dengan administrasi. Tapi tugas utamanya tetap membimbing pemain serta mengatur strategi permainan.

Dalam konteks perbukuan, yang bertindak sebagai pelatih menurut saya adalah sang penyunting. Dia mengurusi masalah ejaan, logika tulisan, alur, sampai mendiskusikan potensi pemasarannya.

Penyunting yang baik tidak harus menjadi penulis yang baik dulu, sebagaimana manajer tim yang baik tidak harus jadi pesepakbola hebat terlebih dahulu. Jose Mourinho dan Arsene Wenger, contohnya, merupakan pelatih bola dengan segudang prestasi. Tapi, mereka tak pernah bermain sepakbola secara profesional.

Sebagaimana pelatih, seorang penyunting atau editor juga mengurusi banyak “anak didik”. Di antara penulis-penulis yang dibimbingnya, akan ada yang penurut, pemalas, pendebat, dan beraneka perilaku lainnya. Akan ada yang menjadi lebih terkenal darinya, tapi akan ada pula yang begitu-begitu saja prestasinya.

Apapun itu, penyunting atau editor adalah guru. Dia berhak mendapat respek dan penghargaan, setidaknya dari para penulis yang pernah dibimbingnya.

Komentator Bola

Seorang komentator menganalisis setiap pergerakan di lapangan, kemudian menyampaikannya kepada orang banyak, biasanya melalui media massa. Jika menurut mereka penampilan seorang pemain buruk, dia akan bilang buruk, seraya memberi tahu apa yang seharusnya dilakukan. Maka tak heran, ada ungkapan sinis, “Kamu ini bisanya cuma mengkritik, kayak komentator bola saja!”

Dalam dunia perbukuan, komentator adalah kritikus. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk mencari kelemahan dan kelebihan buku.

Disebut kritikus karena pemikiran dan penilaiannya memang kritis. Meski terkadang kekritisan tersebut merugikan pihak penulis dan penerbit, karena bisa membuat calon konsumen batal membeli buku. Makanya, beberapa penulis akhirnya berprinsip, “Persetan apa kata kritikus! Aku berkarya untuk pembaca, bukan untuk kritikus.”

Namun pada titik tertentu, sulit dielakkan bahwa kritikuslah yang berjasa membuat sebuah buku teruji dan dikenal khalayak lebih luas. Bahkan, menjadikannya buku yang laris. Profesi ini pun sangat diperlukan. Tanpa mereka, industri buku memang bisa tetap berjalan. Tapi, saya kira akan hambar dan tidak memicu diskusi lebih lanjut.

Penonton Bola

Dia adalah penikmat tontonan sepakbola. Orang yang antusias dengan hiburan ini. Barangkali, dia juga akan berkomentar, mencaci, dan menganalisis. Namun, komentarnya biasanya takkan sedalam komentator bola profesional.

Dalam konteks industri buku, Anda pasti sudah bisa menebak, dialah pembaca. Dia membaca karena menyukai hiburan ini, haus akan bacaan, atau terpaksa suka karena membutuhkan pengetahuan yang terkandung di dalam buku.

Sewaktu-waktu, pembaca juga dapat berubah menjadi kritikus karya. Situs web GoodReads.com, blog, forum, atau media sosial bisa dia manfaatkan untuk menyampaikan unek-unek terhadap isi sebuah buku dari sudut pandangnya.

Tugas Kita Berikutnya

Sebenarnya, masih banyak profesi lain di industri bola yang bisa dipadankan dengan profesi di industri buku. Umpamanya, pemilik klub bola dengan pemilik penerbitan, sekolah sepakbola dengan motivator penulisan, agen pemain dengan agen naskah, penyelenggara pertandingan dengan toko buku, dan seterusnya. Walaupun analogi ini tentu takkan 100% tepat.

Namun dari sini, terlihat bahwa semua memiliki peran dalam industri ini, dalam kadarnya masing-masing. Semua pihak telah mengorbankan sumber daya terbaiknya, entah berupa waktu, tenaga, pikiran, atau uang. Maka jika terjadi gesekan atau kompetisi, baik antar penerbit, antar penulis, maupun antarprofesi, jangan lupakan fakta bahwa kita berada di industri yang sama.

Tujuan bersama kita adalah memajukan industri ini, terutama di Indonesia yang minat baca masyarakatnya rendah sekali. Belum lagi angka pembajakannya.

Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 5-6 September 2015, orang Indonesia hanya membaca buku rata-rata enam jam per pekan. Sementara orang India rata-rata 10 jam tiap pekan, Thailand sembilan jam, dan Tiongkok delapan jam.

Data UNESCO 2012, dikutip dari Kompas 4 Februari 2016, lebih ngeri lagi. Disebutkan, hanya satu di antara 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius. Rata-rata, hanya membaca kurang dari satu buku setiap tahun.

Di sisi lain, bagaimana dengan minat orang Indonesia terhadap sepakbola? Jangan ditanya lagi. Tidak sedikit yang menganggap bola adalah agamanya. Jadi, PR terbesar kita sekarang adalah, bagaimana caranya menjadikan industri buku sesemarak dan semenarik industri bola. Ada ide?

  • Photos from Wikimedia.org
BAGIKAN HALAMAN INI DI

3 thoughts on “Antara Pelaku Industri Buku dan Sepakbola”

  1. Seiring teknologi digital yang terus berkembang, kehadiran buku dalam bentuk fisik sepertinya bakal berkurang.. Seperti pemilik surat kabar yang perlahan menutup usahanya karena adanya media elektronik (enews dsb).. Mungkin selain membuat buku, juga ada alternatif format lain seperti kindle milik amazon. IMHO 🙂
    Jimmy Ahyari´s last blog post ..Vivagoal Situs Berita Bola Terkini

    Reply

Leave a Reply to Jimmy Ahyari Cancel reply

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Don't do that, please!