We can get the writer’s block, I think because we: (1) Are inconsistent (often change the idea, without even single finished story). (2) Have the others activity beyond the writing (it easily turns the goal off). (3) Pending the work too long. (4) Have a problem in confident (like feel that don’t have any talent). (5) Surrender to the underestimation by folks (people sometime doesn’t consider writer as a real job). (6) High-voltage of ego (so we become vulnerable with any sharp critic). (7) Low level of healthiness. (8) Wrong location to write (sometime it makes bad mood). (9) Personal problem (motivational things, include).
Di Warung Fiksi pernah ada tulisan Banyak Jalan untuk Merontokkan Writer’s Block. Namun di sana tidak dibeberkan kenapa mendung writer’s block bisa tiba-tiba bergelayut. Maka saya mencoba melengkapi tulisan Brahm tersebut. Setidaknya dengan mengenali sembilan penyebab penyakit penulis yang menyebalkan ini, Anda akan punya kesempatan untuk menghindarinya.
1. Inkonsisten dalam Menulis
Saya sedang menulis cerpen A, lalu muncul ide cerita lain (cerpen B). Saya tinggalkan cerpen A dan beralih mengerjakan cerpen B. Saat sedang menulis cerpen B, eh, muncul ide cerita lain (cerpen C). Terus saja seperti itu, hingga tak satupun cerpen kelar!
Saya pikir cuma saya yang mengalami sindrom ini. Ternyata tidak. Dewi ‘Dee’ Lestari, alih-alih menulis Supernova edisi berikutnya, malah menyusun Filosofi Kopi dan menulis Perahu Kertas. Saya juga pernah menonton Oprah Winfrey Show yang bintang tamunya seorang novelis Amerika. Saya lupa namanya, namun yang jelas buku terakhirnya berjudul For One More Day (yang kemudian dijadikan film). Novelis itu mengaku, sebelum menulis novel terakhirnya itu, dia sedang menggarap cerita lain, tapi tertunda karena keburu mendapat inspirasi cerita ini.
Yang ingin saya katakan, inkonsisten bukan berarti buruk. Namun ketika inkonsistensi tersebut menyebabkan kita justru tidak menghasilkan apa-apa, itulah gejala writer’s block. Waspadalah, waspadalah!
2. Adanya Kegiatan Lain di luar Tulis-menulis
Otak saya disaput mendung writer’s block kira-kira satu bulan lamanya karena hobi baru: Berkebun. Awalnya cuma ingin mencabuti rumput-rumput liar di halaman rumah (orangtua) saya. Eh, keterusan. Bahkan berlanjut dengan keinginan mempercantik rumah dengan menanam beberapa tanaman dalam pot.
Capek berkebun, saya istirahat, sehingga tidak sempat menyapa tulisan-tulisan saya di komputer. Sekonyong-konyong muncul pertanyaan: Kok kamu nggak nulis?
Lantas saya paksakan diri untuk kembali menulis. Berpikir. Sayang, otaknya enggan jalan. Saya frustasi, kayak baru diputuskan pacar. Ujung-ujungnya saya berhenti menulis dan jadi tukang kebun lagi. Sampai lama kemudian saya baru tergerak untuk kembali memainkan jari di atas keyboard.
3. Terlalu Lama Menunda Tulisan
Menunda tulisan untuk sementara mungkin bisa jadi sarana rileksasi. Menikmati waktu luang adalah anugerah yang tidak dimiliki setiap orang. Tapi kalau menundanya kelamaan? Niscaya kita akan menjadi sasaran empuk virus writer’s block. Dan dari situ, bukan tidak mungkin seorang penulis pensiun menulis.
4. Krisis PD
Ini faktor pemicu writer’s block yang tidak bisa diremehkan. Tentunya krisis ini bukan lantaran aroma aneh pada ketiak penulis. Krisis PD dalam menulis dapat muncul karena orang tersebut merasa tidak punya bakat. Bakat adalah kemampuan misterius pada diri seseorang. Saya sendiri meyakini bakat itu ada dan signifikan pengaruhnya.
Namun jika sekarang saya menulis, itu bukan berarti saya merasa memiliki bakat menulis. Saya melakoni kegiatan ini karena saya mencintainya. Saya suka menulis dan ingin hidup dengan menulis. Maka saya enyahkan pertanyaan, “Apa iya ini bakatmu?” Saya tidak terlalu peduli dengan itu. By the way, buat apa punya bakat kalau tidak ada usaha?
5. Pandangan Remeh Orang terhadap Profesi Penulis
Saya tinggal di tengah masyarakat yang pragmatis. Menulis belum dianggap sebagai sesuatu yang bergengsi. Padahal apanya yang tidak bergengsi dengan investasi ini, bisa seharian diam di rumah, inspirasi muncul tanpa perlu diundang, punya banyak waktu untuk jalan-jalan, bersantai, dst.
Menulis di sini masih dianggap hobi, bukan profesi. Kalau cerpen atau artikel kita dimuat di media, dapat honor, orang-orang paling berkomentar, “Hebat, iseng-iseng berhadiah!” Lalu ujung-ujungnya kita tetap disuruh cari pekerjaan yang lebih genah. Emang menulis pekerjaan yang kurang genah, apa?
Stephen King pernah diwanti-wanti oleh salah satu mentornya, John Gould, “Sadarilah bahwa pasti akan ada orang yang mengatakan apa yang kau lakukan sia-sia. Tiap penulis mengalaminya.” Jadi, apakah Anda akan membiarkan pandangan sebelah mata itu menghancurkan semangat Anda dan memicu sel writer’s block di otak?
6. Ego Tinggi
Seperti kata pepatah, musuh utama manusia adalah dirinya sendiri. Maka tidak mudah memasukkan ego ke dalam peti es. Dingin! Seorang penulis mungkin akan merasa il-feel setelah mendengar kritik tentang tulisannya. Ujung-ujungnya dia akan melakukan pembelaan terhadap karyanya.
Saya suatu kali pernah menyodorkan sebuah karya kepada seseorang yang karir menulisnya lebih baik. Meluncurlah beberapa komentar dari mulutnya. Namun ternyata saya tidak terima. Masalahnya, saya membuat beberapa kesengajaan dalam karya itu, tapi dia pikir itu semacam ketidaksengajaan yang patut dikoreksi.
Spontan saya mendekap erat karya saya sambil ngedumel dalam hati, “Enak aja lu bilang ‘anak’ gue gitu,” Nah, lihat sendiri kan betapa sayangnya saya pada ‘anak-anak’ saya, sampai sebegitu posesif! Saya memang berhenti memperlihatkan tulisan saya yang satu itu kepada orang lain. Jujur, saya masih trauma. Sikap yang salah. Sebab jelas, ujung-ujungnya timbul writer’s block di sisi saya.
7. Kesehatan yang Tidak Prima
Keasyikan mengerjakan sesuatu bisa membuat seseorang lupa waktu, lupa makan, bahkan lupa diri. Waktu inspirasi sedang mengalir deras, kita enggan berhenti menulis barang setengah jam pun. Maka tak heran, banyak penulis yang rela begadang demi menyelesaikan ide tulisannya.
Tapi pernahkah Anda berpikir hal itu bisa membunuh kelancaran menulis? Logikanya sederhana. Jika kesehatan diabaikan, lalu kita sakit, bagaimana kita bisa menulis? Yang ada malah waktu terbuang untuk pemulihan. Mood ngedrop. Dan selamat datang, writer’s block!
8. Tempat Menulis yang Tidak Pas
Rata-rata penulis bisa bekerja di tempat yang tenang, jauh dari kebisingan, banyak pemandangan alam yang bikin pikiran adem. Tapi ada juga yang lancar menulis sambil nongkrong di kafe, ngobrol bersama teman, atau melihat orang-orang berlalu-lalang.
Well, ini tergantung kebutuhan masing-masing penulis sih. Kalau lebih produktif menulis di tempat yang tenang, jangan paksakan diri menulis di tempat yang ramai. Bisa-bisa muncul writer’s block.
Seorang penulis profesional mungkin harus beberapa kali pindah rumah untuk menemukan lokasi yang tepat agar bisa menulis. Suasana rumah juga bisa memberi pengaruh besar dalam menulis atau sekadar merenungkan ide. Konon Joko Pinurbo memiliki salah satu tempat favorit untuk melakukan permenungan, yaitu di sudut ruang tamu rumahnya. Dewi Lestari di atap rumah, sepertinya. Saya? Di kamar mandi.
9. Masalah Pribadi
Tidak perlu dijelaskan. Ini faktor pemicu writer’s block yang terang benderang. Masalah semangat dan motivasi termasuk di dalamnya. Saya hanya bisa mengatakan, selesaikan dulu masalah itu. Namun andaikan tidak menemukan satupun solusi, sebenarnya masalah tersebut bisa dijadikan ide cerita kan?
Voilà! Itulah sembilan penyebab writer’s block berdasarkan pengalaman saya. Tidak tertutup kemungkinan Anda menemukan penyebab ke sepuluh, sebelas, dst. Please, let me know.
saya pikir permasalahan poin 5 adalah permasalahan pilihan. to be or not to be. kalau memang niat menjadi penulis, buat apa peduli dengan komentar masyarakat yang pragmatis itu. tapi kita juga harus konsisten dan serius dibidang itu. dan harus sukses. karena kalau tidak, pandangan-pandanga remeh itu akan terus terdengar. tidak percaya? silahkan dibuktikan sendiri.
terima kasih. dan salam kenal.
PANJI
wah inspiratif banget tulisannya, saya juga kalau ngalamin writer’s block biasanya karena terlalu banyak ide di kepala, terus takut kalau ceritanya ga disukai pembaca. tapi yah, kadang2 kita lupa kalau apa yang kita pikirkan di otak berbeda dengan yang dipikirkan orang lain.
saya sendiri paling sering writer block kalau ada adegan yang susah diterusin. paling sering sih adegan tersebut di cut, terus ditaruh di file lain, terus diberi nama adegan apa, terus kalau suatu saat bisa dipake, ntar dimasukkin lagi. saya pernah membuang adegan ampe 30-50 lembar karena merasa ga sreg, tapi harus demikian, soalnya kadang2 setelah kita membuang adegan yang susah dilanjutkan itu, kita bisa mengalir lagi dan menulis lebih banyak dan lebih cepat dari yang kita buang.
salah satu teknik lain yang bisa dicoba adalah asemic writing, menulis tanpa mengedit diri sendiri, biarkan mengalir apa adanya, lalu edit belakangan. sejujurnya saya belom berani menulis seperti ini, perasaan self-edit selalu ada, dan merasa tulisan tersebut harusnya diedit dulu sebelum diteruskan.
kalau dewi lestari sendiri memberi tips, kalau writer’s block, dia mandi (buat saya si ga ngepek sayangnya).
yang paling parah mungkin kalau penulis serial mingguan ya, kalau seandainya dia writer block dan deadline mendekati, kira2 apa yang ia lakukan ya? menulis plot novel walau buntu… tampaknya mengerikan 😛
Saya pernah mengalaminya karena saya ditolak suatu penerbit. Bukan karena ego tinggi. Cheesy banget, gitu doang kok nyerah? Saya hanya merasa apa yang saya kerahkan seluruhnya untuk suatu karya, ternyata hancur. Semenjak itu saya sama sekali tidak menulis.
Tapi sekarang sudah mulai lagi sih. Lancar banget malah.
Hi…, with regards to your comment on my blog about link exchange, I have no problem with it. I will link to your blog in my Blogroll section (your blog title – Warung Fiksi? or another title?). Email me back or just reply through my blog’s comment box at http://e-borneo.blogspot.com/2008/11/sabah-tourism-upcoming-event-ranau.html
Thanks.
5. Pandangan Remeh Orang terhadap Profesi Penulis
hiyahaha..sepakat. Apalagi yg hidup di kota PNS (kota yg ada lowongan kerja cuma PNS),di lingkungan keluarga PNS slama 7 turunan, nengok sedikit aja ketemunya PNS. DAn bersiap mendapat warisan menjadi PNS yg bisa diwariskan buat anak cucu…
Dapet pertanyaannya: Oh, mo jadi penulis? dapet pensiunan ga? dapet askes ga? bisa buat ngkredit rumah ga? dapet gaji ketiga belas, ga?
hoho..
salam kenal!
Kecuali poin #9, sy pernah mengalami semuanya deh saat menulis blog 🙂 tdnya sy gak ngerti tp rumusan dlm postingan ini bener2 membikin saya tersadar. Thanks udh mampir blog saya, ya! Hv a great week end!
ooooohhhhh begitu….
tararengkyu Ya
selamat juga udah punya site!!
Thx guys for sharing your experience…
Panji: Yups. Musti konsisten & sukses, walaupun ukuran sukses relatif. Tapi yg jelas, org tdk akan menghargai kalau usaha kita setengah2. Minimal kita bisa meyakinkan org kalau kita serius. Dan ingat kata pepatah: anjing menggonggong, kucing mengeong, ayam berkokok, kambing mengembik, kuda meringkik, semut… (?) :p
Salam kenal juga…
Calvin: Inspiratif? Hoho… thx ya… 🙂 (Thx juga buat info ttg Dee)
Tambah 1 penyebab lagi nih: susah nerusin adegan. Solusinya oke tuh…
BTW saya baru dengar istilah asemic writing (bisa jadi inspirasi!) Tapi memang agak susah diaplikasikan. Maunya perfek dulu sebelum menulis sampai selesai.
Kayaknya saya ga sanggup deh jadi penulis serial mingguan. Bisa dead beneran…
Mynameisnia (Nia?): Awal2 nerima kritik, apalagi ditolak, pasti susah nerima. Tapi belajar dr yg sudah2, ditolak berarti terbuka kesempatan baru u/ memperbaiki kesalahan atau membuat tulisan yg baru lagi. Eh, itu penyebab ke 11 ya?
Rich Adz: Hi, Rich… Sorry i have no idea about link exchange. It’s Brahm’s responsibility. But i think he would be so glad… Thank’s anyway for join here 🙂
Pradna: Ternyata ini pengalaman banyak orang juga ya. Tapi maju terus pantang mundur & be yourself. Cuma itu yg bisa saya pegang…
Salam kenal juga…
Astrid Savitri: Ya mudah2an poin nomor 9 tdk terjadi sama Anda. Dan semoga tdk terjadi lagi poin2 yg lain. Amin…
Riez: Ini temannya Astrid???
artikelnya bagus
yang ngarang for one more day itu namanya mitch albom, saya kira no sepuluhnya, kebanyakan dari kita merasa harus buat cerita yang super hebat dengan tokoh tokoh hebat, alur cerita yang berbelit dan menegangkan, gaya bahasa yng muluk muluk, mutar mutar trus sangat banyak ide yang muter di kepala. eh pada gilirannya berhadapan dengan komputer: lupa deh. karena tadi pas idenya lewat lagi ga megang pulpen dan catatan.
no 10 writing blok : jangan lupa bawa pulpen dan notes.
makasih
Thx, Inda. Thx buat infonya, thx buat solusinya…
Oh, Mitch Albom toh, namanya. Sumpah! Saya lupa. Ga dicatat sih, hehehe…
Iya tuh! Mustinya langsung dicatat. Tapi menurut saya, walaupun ada alat tulis dan kertas di dekat2 kita, teueteup aja sih ketika inspirasi itu dituangkan nggak akan seperfek dgn yg kita bayangkan. Dunia imajinasi dgn dunia nyata kan beda. ‘cerita yang super hebat dengan tokoh tokoh hebat, alur cerita yang berbelit dan menegangkan, gaya bahasa yng muluk muluk, mutar mutar ‘, menurut saya itu ada di dunia ide. Imajinasi plus tokoh2 cerita kayaknya punya dunia sendiri yang beda dgn dunia tempat penulis itu berada.
Penjelasan saya bikin bingung nggak? Mudah2an nggak, ya?
Intinya, selalu sedia alat tulis dan kertas, saya setuju banget. Jadi begitu ada inspirasi, bisa langsung dicatat. Tapi kalau hasilnya nggak sesuai sama keinginan, ga usah manyun dulu. Ga usah maksain diri buat menulis yg sama persis dgn apa yg kita angan2kan. Ga ada aturannya kok. Oke?
kalo ay misalnya dapet ide dicatet dulu di henpon, baru ditulis kemudian
tapi sekarang ay lagi punya EMPAT IDE NOVEL yang sama sekali BELUM SELESAI DITULIS!! hwaaaaaaa someone help me
Hahaha…bener nih…saya sering ngalamin tuh yg no.1 ama 4 😀
Maaf, Rea & Gagahput3ra, komentarnya baru saya tanggapi sekarang… Thx udah nimbrung bagi2 pengalaman…
Rea, sama, saya juga punya ide novel, 3 biji, semuanya baru ditulis masing-masing kurang dr 5 halaman hehehe… Plus belasan cerpen, artikel… Jadi sori ya, saya ga bisa nolong kamu. Saya juga perlu ditolong. Ada yg mau jd asisten saya?
Yah, saya sih cuma bantu ngedorong kamu dr belakang. Semoga novelnya bisa kelar satu2. Tenang aja, kamu ga sendiri kok! Kita saling mendukung & menguatkan iman. Halah!
Gagahput3ra, u/ masalah nomor 1, ga ada cara selain berusaha ngerampungin tulisan satu2. Tangan kita kan cuma dua, kepala cuma satu. Saya sih yakin, banyak penulis ngalamin masalah kayak gini. Bukan cuma penulis pemula, tapi penulis profesional juga.
Terus soal krisis PD, PD-in aja deh + banyak usaha. Ngerasa ga punya bakat wajar aja. Tapi jangan terlalu dipikirin! Daripada mikirin bakat mendingan mikirin ide. Hehehe…
saya paling sering ngalamin nomor satu n tiga tuh..
awalnya kelamaan nunda tulisan,
eh begitu semangat nulis dah ada ide baru..
akhirnya,,ya gitu deh..
Ya. Gitu juga hehehe.
Saya skrg belajar konsisten, ngerampungin tulisan satu per satu. Masih suka muncul ide yg baru sih. Yah, mungkin ini masalah tanggung jawab + cara membagi waktu.
Semua poin itu pernah, sedang, dan selalu saya alami..
No 1 adalah godaan yang paling sering muncul. Dulu saya gak bisa melawannya, tapi sekarang saya belajar untuk tidak tergoda. Tiap ada ide baru muncul, saya simpen di file terpisah, hanya sekedar mengingatkan kalo nanti saya sudah selesai dengan yang ini. Giliran dia selanjutnya.
Godaan lain yang susah di lawan adalah kalo ada game baru. Bikin saya penasaran untuk main terus sampai kelar. Dianggurin deh novelnya. Satu-satunya jalan keluar hanya meyakinkan diri sendiri untuk menulis dulu baru main.
Terlalu lama menunda tulisan sangat tidak bagus. Terbukti pada diri saya sendiri. Alhasil, biar dapet “feel” lagi, harus mengulang dari awal.
Setujuuuu.. Menulis itu adalah pekerjaan paling menyenangkan, meski awalnya harus bersusah dulu (seperti diriku saat ini, pengangguran gak jelas).. Keluarga saya juga penganut pragmatisme, dan pecinta PNS. Waktu saya bilang mau jadi penulis, mereka bertanya, apa yang bisa didapat dengan menjadi penulis? (serupa dengan nasib pradna). Diremehkan, gak masalah. Biarkan karya saya nanti yang akan menjawab pertanyaan itu. InsyaAllah. Amien.
By the way, anyway, busway, salam kenal yak…
Eh, eh, Zeta. Kok kita sama ya? Wah, jadi punya temen nih.
Thx, ya, udah sharing. BTW, aku sih nggak pasang game di komputer. Kalo misalkan capek nulis, aku keluar rumah aja. Ngobrol2 sama angin, nyium2 bunga, ngebales teguran tetangga, “Neng, udah kerja belum?” Ah, kamu juga ngerasian sendiri.
Tapi penulis emang kayak gitu. Kelihatannya nggak ada kerjaan, tapi sebenernya kita sibuk. Ya, kan?
Lam kenal juga ^_^
makasih, cukup membantu. sering banget ngalamin yg nmor1 dan akhirnya nggak ada tulisan yg bs kelar.